Mendera Dera

Tresha

Artikel oleh: Tresha Anggia

Dera kecil berjalan menyusuri komplek perumahannya. Dengan menenteng gitar di tangan kanan dan tas sekolah di tangan kiri, Dera melangkah mantap menyusuri perumahan yang letak batunya pun sangat ia ketahui. Dera berpakaian lengkap, kebetulan ia tidak punya hobi untuk dipanggil guru BK, ataupun bersilaturahmi dengan anggota OSIS. OOTD-nya hanyalah kemeja putih lengkap dengan dasi biru, serta rok yang menutup mata kaki. Ah, jangan lupakan setelan jaket hitamnya yang selalu membalut tubuhnya tiap hari. Ibu sering mencibir pilihan jaket yang Dera pakai. “Jakarta panas. Ngapain, sih, kamu pake jaket segala? Kena heatstroke aja baru tau rasa kamu.” Dera hanya tersenyum, menggeleng gemas, sambil membatin “Ibu, Ibu, kayak gak tahu aja.”

Di sekolah, ruang kelas ramai seperti biasanya. Ada yang bermain gitar, diam-diam membuka telepon genggam, sampai bergosip ria. Barisan kirinya lebih sering ramai dengan perbincangan terhadap artis luar ataupun gosip terbaru di sekolah. Sedangkan, barisan sebelah kanannya diisi dengan anak rajin yang tenang dan sering menjawab pertanyaan guru. Dera bisa mendengar semua percakapan temannya dengan baik dari kursinya yang terletak belakang. Rasanya segala topik dan opini bisa keluar dari mulut itu, tapi tidak untuk beberapa hal. Dera terus bungkam, diam, dan redam.

Dera itu aneh, takut suara kencang, tapi benci kesunyian. Tidak suka panas matahari, tapi benci gelap malam. Tidak suka sendiri, tetapi mengutuk keramaian. Maumu itu apa sih, Ra?

Nyatanya, Ibu hanya bisa duduk gemas setiap melihat kepulangan anaknya. Baju bau asem. Keringat tak hanya menjulur di punggung badan saja, tapi juga di punggung kaki. “Kamu tuh kenapa sih, dek, harus banget pake jaket di siang bolong? Takut gosong kena matahari? Nanti yang ada jamuran badanmu. Haduh, si Adek.” 

Dera yang lelah hanya bisa mengangguk lesu, mengiyakan racauan ibunya karena tak ingin menambah penatnya. Suaranya hanya menjawab di dalam hati. “Bu, kalau Ibu lihat dari sepatuku, mungkin Ibu bakal pakai jaket, tiga lapis, atau tujuh? Sepuluh, bahkan! Biar saja badan panas, asalkan orang-orang di jalan gak liat aku. Gak manggil-manggil aku, disiul-siulin. Pura-pura tuli terus capek, Bu.”

Seandainya Ibu tahu alasan kenapa Dera takut sendiri, tapi benci keramaian. Alasan kenapa Dera takut sepi, tapi benci bising. Seandainya Dera punya keberanian untuk berbicara. Berbicara tentang mas-mas di depan gangnya, guru, kakak kelasnya, teman sekelasnya. Atau, bahkan, tentang orang tak dikenal yang…ah, sudahlah. Mau marah pun sudah tidak kuat saking kesalnya.

Dera benci sepi, karena tiap bising hilang, yang teringat hanya panggilan manis yang dikira menjadi pujian, padahal adalah ancaman. Ah, satu hal lagi yang belum Ibu ketahui tentang Dera. Dera benci menjadi perempuan. Cita-cita Dera mudah, hanya untuk dapat berjalan santai—baik siang ataupun malam—sendiri. Tanpa harus ada rasa was-was kalau sesuatu hal yang buruk akan terjadi. Berjalan santai, sendiri, tanpa harus ada kata “ditemani” agar tidak merasa khawatir di jalan nanti. Dilihat sebagai seorang manusia, bukan sekadar dari pakaian atau bentuk fisiknya.

Dera juga benci keramaian, Dera tidak suka saat sepasang mata melihatnya tak senonoh. Selain saat sendiri, Dera, sialnya, juga merasa tidak aman saat berada di tengah keramaian. Dera itu manusia, tahu! Bukan daftar menu yang dijajakan restoran mahal di pusat perbelanjaan ibukota. 

Dera manis yang malang. Dera yang terus didera ketakutan. Dera yang kemudian tetap kuat untuk terus berjalan. 

Untuk Dera-Dera yang bisa jadi siapa saja, terima kasih, ya, sudah kuat. Peluk dari Dera kesekian.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content