Aku dan Stoa Melawan Dunia

Aku dan Stoa Melawan Dunia

Satu waktu saya main ke kosan teman. Teman ini baru beberapa bulan bekerja di Jakarta dan mengambil indekos di dekat tempatnya bekerja. Tempat kami cukup jauh. Saya tidak bisa mengunjunginya terlalu sering. 

Siapapun yang merantau tahu bahwa bulan-bulan pertama di tempat baru  cenderung penuh dengan kebingungan. Ada culture shock,  isu komunikasi, kesepian, dan sebagainya. Untuk itulah alasan saya berkunjung. Mencoba bersolidaritas. 

Awalnya, saya membayangkan akan mendengarkan teman saya  berkeluh kesah–atau, kalau diminta, memberikannya kiat-kiat sok tau dalam menghadapi Jakarta.Sampai di kos teman saya, bayangan itu tidak ada yang terealisasi. Orang ini tidak mengeluh soal Jakarta yang baru ia tinggali. Saya malah dibuat heran dengan kadar optimisme dia yang melimpah. Saya tentu saja senang. Saya kemudian menggali: Apa rahasianya?

Ia menunjukkan sebuah buku yang sudah selesai ia baca. Filosofi Teras, judulnya. Sebuah buku pengantar filsafat stoa. Buku itu, katanya, efektif mengurai sumber kecemasan dan membantu merapikan pikiran. Ia menjelaskan banyak tentang isi buku itu termasuk bagaimana falsafah stoa merubah cara pandangnya menghadapi realitas.

Zeno dan Terasnya

Filosofi Teras dibuka dengan kisah Zeno–seorang pedagang kaya yang malang. Sekitar tahun 300 sebelum masehi, kapal yang ditumpanginya dan membawa barang dagangannya karam di laut Mediterania. Semua hartanya ludes. Zeno terdampar di tempat asing yang akan menjadi menjadi titik balik kehidupannya: Athena.

Di Athena, Zeno menekuni dunia baru. Dia tertarik kepada buku-buku kebajikan dan mulai belajar pada banyak filsuf di kota itu. Seiring berjalannya waktu, Zeno mulai mengajarkan filosofinya sendiri di sebuah teras berpilar–dalam Bahasa Yunani disebut Stoa. Sejak saat itu, Zeno dan para pengikutnya dipanggil kaum Stoa dan dunia mulai mengenal Stoisisme.

Saya enteng saja memaknai apa itu stoisisme. Ia bukanlah filsafat yang abstrak dan mengawang-awang. Stoisisme adalah falsafah menjalani hidup bahagia. Sebuah alternatif cara memandang dunia yang sangat praktis dan bisa diterapkan sehari-hari. Saya mengadopsi beberapa falsafah stoa berikut dengan harapan bisa menambah kadar optimisme seperti teman saya itu. 

Menyelaraskan Diri dengan Semesta

Satu waktu, saya keluar subuh dari kamar kos dan mendapati burung-burung berkicau di pohon mangga depan kos. Perasaan ganjil tiba-tiba muncul karena hampir setiap hari saya melewati pohon mangga itu dan tidak pernah ada kicau burung. Kicau burung-burung itu menyadarkan saya bahwa saya adalah bagian dari lingkungan hidup yang besar dengan berbagai macam spesies di dalamnya. (Karena tinggal di kota, kadang saya merasa terjebak dalam kerangka industrial yang sangat antroposentris–alias berpusat pada manusia). 

Di falsafah stoa, hidup selaras dengan alam menjadi prinsip yang harus dipegang erat. Tapi,  penekanannya sedikit berbeda dari usaha memelihara harmoni dengan lingkungan hidup seperti membuang sampah pada tempatnya, atau memelihara tumbuhan. Menurut stoic, selaras dengan alam berarti memaksimalkan kemampuan berpikir yang manusia miliki untuk hidup berkebajikan. Karena hanya kemampuan berpikir lah yang membedakan manusia dengan hewan atau tumbuhan. Berpikir dan bernalar adalah nature kita sebagai manusia. Jadi, hidup selaras dengan alam berarti hidup dengan memaksimalkan pikiran dan nalar tersebut.

Di kehidupan sehari-hari, prinsip ini bisa kita gunakan untuk berpikir matang dulu sebelum melakukan sesuatu. Tidak reaksioner dan selalu mengedepankan akal daripada emosi.

Fokus Pada Apa yang Bisa Diubah

Saya mencuci pakaian di suatu pagi yang cerah. Sebelum berangkat ke kantor, saya menjemurnya di tempat jemuran bersama. Menjelang sore, langit tiba-tiba mendung lalu turun hujan deras. Saya berharap ada seseorang di kos yang bisa mengamankan pakaian saya supaya tidak kena hujan. Setelah sampai di kos, pakaian saya masih di tempatnya semula. Semuanya basah kuyup. Beberapa berserakan di lantai. Saya kesal. Hari itu saya marah pada cuaca dan orang-orang yang seharian ada di kos.

Membayangkannya sekarang menjadi lucu. Cuaca dan sikap orang lain adalah hal yang tidak bisa kendalikan. Falsafah stoa mengajarkan bahwa kita harus fokus pada apa yang bisa kita kendalikan dalam hidup. Apa itu? Pikiran dan tindakan kita sendiri. Sesuatu di luar itu sudah termasuk di luar kendali kita.

Seperti Main Bola

Kota besar seperti Jakarta menawarkan banyak sekali barang dan kemudahan. Ini memang godaan besar. Kalau tidak pintar-pintar mengontrol hasrat, kita bisa jadi seperti yang dikatakan Efek Rumah Kaca: “Belanja terus sampai Mati!”.

Dalam falsafah Stoa, keterikatan emosional pada barang ternyata menjadi salah satu penghambat untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan seharusnya muncul dari jiwa yang damai, alih-alih menggantungkannya pada barang-barang yang kita beli.

Menurut filsuf Stoa Epictetus, cara terbaik menangani benda yang kita miliki adalah menganalogikannya dengan bola dalam permainan sepak bola. Bola memang penting, tapi bukan sesuatu yang berharga dan harus dipeluk mati-matian. Ada saatnya bola harus ditendang, dilempar jauh, atau sesekali ditangkap.  Begitupun dalam menyikapi barang. Barang-barang itu selayaknya “dimainkan” dengan strategi yang baik demi mencapai kebahagiaan.

Referensi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content