Kopi Indie Keliling

Kopi Indie Keliling

Ditulis oleh Ai/Foto oleh Muhammad Rizki

Bagian 1: Ruang Publik

Apakah kamu familiar dengan istilah ‘anak indie senja kopi’? Julukan ini diasosiasikan kepada penikmat kopi manual brew yang mendengarkan musik sealiran Banda Neira atau Fourtwnty, di mana imbuhan kata ‘senja’ kerap ditemukan sebagai selipan puitis nan romantis di lagu-lagu tersebut. Indie atau independen juga akhir-akhir ini menjadi label untuk individu atau kelompok yang dinilai “berbeda” selera dari arus utama. 

Namun, indie sebenarnya memiliki makna yang sangat empowering; bisa diartikan merdeka, bebas, mandiri. Makna indie ini kami saksikan dalam diri Acil, yang kisahnya kami ceritakan kembali di dalam photo story ini. 

Ke-indie-an dalam diri Acil kami lihat ketika secara tak sengaja berjumpa dengan Acil di sekitaran Monumen Nasional (Monas) saat Jakarta yang sudah tak lagi senja. Acil adalah pedagang kopling alias kopi keliling atau dikenal juga sebagai starling atau St*rbucks keliling. Nama aslinya Anwar, namun sering dipanggil Acil, ia berasal dari Madura. Kemeja motif, celana chinos, dan beanie abu-abu menjadi work outfit of the day Acil hari itu. Usianya 27 tahun dan ia telah konsisten menempuh profesi kopling selama 7 tahun. Acil kini tinggal di Jakarta bersama istrinya dan anaknya yang berusia lima tahun.

“Untung mas-mbaknya beli sekarang, di sini (pinggir jalan) Good Day Cappuccino 5 rebu. Ntar di tempat rame kaya orang balik dari Monas dah beda lagi, bisa jadi 10 rebu.”

Acil berasal dari Madura. Ia merantau ke Jakarta dan memulai usaha kopling setelah diajak oleh kakak iparnya. Walau gelar perantau masih Acil pegang kuat, ia bak yang punya Monas di mata kami. Buktinya, di antara banyaknya kopling yang berjualan di sekeliling Monas dengan risiko diciduk Satpol PP karena larangan berjualan di area tersebut, Acil sudah punya tempat ngetem strategis tersendiri yang dijamin aman. 

Tiap malamnya, Acil ngetem di samping Halte TransJakarta Monas. Para petugas halte sudah jadi pelanggan setia dagangan Acil. Berkat resep teh tarik Acil yang verified oleh para petugas halte, kehadiran Acil untuk ngetem sudah diterima. Menurut mereka, teh tarik buatan Acil adalah yang paling enak yang mereka pernah minum dibandingkan koplingkopling lain. Teh tarik menjadi signature indie a la Kopling Acil, ketika kopling sewajarnya identik dengan kopi.

Pengalaman Acil yang membutuhkan kepercayaan petugas halte untuk ngetem memantik kami untuk memikirkan kembali konsep–dan realita–ruang publik. Menurut Habermas, ruang publik adalah arena pertama bagi semua aktivitas komunikasi, dan kemudian berpotensi ke arah pembentukan opini publik. Konsep ini bisa jadi pijakan awal untuk mengenal ruang publik sebagai ruang alternatif dalam membentuk wacana. Awalnya, ruang pembentukan wacana itu eksklusif di tataran pemerintahan atau orang-orang yang berkuasa secara ekonomi. Hari ini, ruang publik bisa dimaknai dengan lebih inklusif sebagai ruang yang aksesibel untuk dinikmati oleh semua orang–namun dengan S&K (syarat dan ketentuan) yang berlaku. Ya, tidak semua orang bisa menikmati ruang publik karena sering kali ruang publik tidak ramah untuk individu atau kelompok tertentu. 

Kopling pada akhirnya harus berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya karena kehadiran mereka justru dilarang di tempat-tempat di mana mereka dibutuhkan pembeli. Selain pelarangan dari aparat setempat seperti Satpol PP, dinamika antar-kopling pun mengharuskan satu sama lain mempertahankan ruang strategisnya karena potensi persaingan dalam saling menggaet pelanggan. Selisih antar kopling tentang boleh atau tidaknya ngetem di suatu tempat lalu membuat kami berefleksi, siapa pemilik ruang publik sebenarnya?

Bagian 2: Orang Muda

Acil menunjukkan video instagram reels yang dia buat sepulang dari berdagang sepanjang malam. Sebuah video pedagang kopling sedang mengayuh sepedanya bertepatan dengan matahari terbit di Bundaran Tugu Tani diiringi dengan lagu trending dan quote inspiratif. Video ini telah ditonton sebanyak 93 ribu kali di instagram. “Iseng-iseng aja”, katanya agak tersipu sambil menunjukkan video-video lain yang juga dilihat ribuan kali oleh pengguna instagram. 

Sebanyak 98,64% orang-orang dengan rentang umur 19-34 di Indonesia sudah menjadi pengguna internet. Acil adalah salah satu orang muda yang aktif menggunakan media sosial. Media sosial membuka ruang berekspresi untuk Acil yang gemar akan videografi dan meng-cover lagu. Walaupun sebagian orang menyalahkan media sosial karena pengaruhnya yang dianggap negatif terhadap orang muda, sebagian yang lain mengunggulkan teknologi informasi itu sebagai sumber pengetahuan dan bahkan wadah menjalankan agensi diri orang muda. Berprofesi sebagai pedagang kopi keliling adalah satu hal, sementara menjadi orang muda yang sadar dan berdaya adalah hal yang lain. Menyadari kesukaan dan passion memanggil Acil untuk memberdayakan dirinya di ruang apapun. Bahkan jauh dari kampung halamannya, Acil tetap berusaha menghadirkan dirinya.

Jakarta keras–ini sudah menjadi stereotip nomor satu ketika Jakarta dideskripsikan. Selain kondisi perkotaan yang asing, Jakarta juga menawarkan kultur serta subkulturnya tersendiri. Perantau seperti Acil harus mengadopsi banyak kebiasaan baru, misalnya dalam budaya komunal a la Madura yang tidak bisa ia terapkan di Jakarta. Walau ia terbiasa untuk bekerja secara berkelompok menjadi petani pohon nira di Madura, Acil harus berhadapan dengan sisi individualisme dan persaingan ekonomi antar sesama pedagang keliling di Jakarta. 

Acil pernah mencoba untuk berkomunal dengan kopling lain; ngetem di lokasi yang sama. Hasilnya, ia hampir beradu karena tidak sepakat dengan mekanisme pembagian hasil secara merata dengan beban kerja yang beda. Peristiwa itu meyakinkannya memilih jalur indie untuk urusan berdagang kopi keliling. Pada akhirnya, melihat Jakarta hanya sebagai tempat bekerja kemudian dipilih oleh banyak orang muda dan perantau seperti Acil yang mempertahankan hidupnya, istri dan anak di Jakarta, dan keluarga di Madura.

Ketika orang muda punya keresahan dengan orang tua yang kerap bertanya “sekarang kerja apa?”, sering membuat sejenak kicep. Respons ini terjadi antara memang sedang menganggur atau sulit menjelaskan pekerjaannya karena gap generasi dan informasi. Acil meyakini kalau bekerja di mana pun, restu orangtua itu paling utama, sehingga penting bagi orang tua mengetahui apa yang sedang anaknya lakukan. Pekerjaan apapun, tidak akan sulit untuk dijelaskan ketika kita bersedia untuk duduk bareng dan saling bercerita.

“Aku bilang mau kerja jualan kopi di Jakarta, orangtua harus tau apa yang aku kerjain. Kalo nggak tau gimana bisa dapat restu. Restu dan doa orangtua nomor satu”

Bagian 3: Penutup

Suatu waktu, Acil pernah mencoba untuk ikut dalam program Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta dalam rangka penyambutan ASIAN Games 2018. Para pedagang kopling di Jakarta dikumpulkan dan diberi seragam resmi agar bisa berjualan dengan lebih fleksibel di beberapa titik keramaian. “Sekalian branding gratis ASIAN Games,” ujarnya. Namun, seragam dan janji dari Pemda DKI ternyata tidak menjamin keamanan Acil dan kopling lainnya. Alih-alih bisa berjualan dengan tenang, termos air di sepeda Acil jadi korban razia dipaksa angkut oleh Satpol PP. Minimnya perlindungan dari Pemda DKI terhadap pedagang kaki lima, pontang-panting-nya pemenuhan hak sebagai perantau, dan terbatasnya akses untuk pekerja muda sektor informal adalah sedikit bagian dari Jakarta. Nancy Fraser, seorang teoritikus kritis dan pemikir feminis, berpendapat bahwa memaknai ruang publik bisa terkesan utopis jika tidak memperhatikan apakah ruang publik tersebut aksesibel bagi semua kelompok yang ada di dalam masyarakat. Menurut Fraser, ruang publik dapat mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu termasuk perempuan, buruh, dan komunitas etnis minoritas.

Indie bukan hanya sebuah identitas atau genre. Indie pun merupakan pilihan. Acil memilih untuk tidak berkomunal bersama kopling lain karena faktor persaingan antarpedagang yang muncul akibat keterbatasan dalam mengakses sebagian ruang di Jakarta. Acil “menciptakan” ruang publiknya. Pelanggan-pelanggannya di Halte Monas, ruang yang membuatnya bisa hadir, berdagang, dan menjalin berinteraksi. Tujuh tahun sebagai orang muda yang berproses di tanah rantau, Acil menghadirkan “rumah” bersama istri dan anak ketika berjarak dengan rumah tempatnya berasal. Pada akhirnya, berdamai dengan Jakarta–baik dengan ruang ataupun aktor di dalamnya–menjadi keharusan untuk bertahan atau yaa… jalan ninja orang-orang muda perantau yang hidup di Jakarta.

***

Photo story ini merupakan bagian dari kolaborasi Highvolta Media dan Pamflet Generasi dengan tema payung “Orang Muda dan Ruang Publik”. Keluaran kolaboratif lainnya bisa dipantau melalui akun Instagram Highvolta Media (@highvolta_) dan Pamflet (@pamfletgenerasi).

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content