Sembahyang Rebutan dan Hal-Hal yang Lebih Menyeramkan dari Hantu

hantuw

Semenjak pandemi berlangsung, hari Minggu mempunyai pagi yang paling sepi. Keluarga saya di rumah tidak lagi terburu-buru bersiap ke gereja pagi karena kami bisa kebaktian kapan saja melalui Youtube. Tapi, di suatu Minggu pagi, sepi itu tidak berlangsung lama. Rumah kami  kedatangan om dan tante dari Cikarang, Engkong, serta i’i (tante) dari Mama yang tinggal tidak jauh dari rumah. Suasana menjadi heboh, tapi menyenangkan. 

Tidak lama setelahnya, bel rumah kembali berbunyi. Kali ini, saya dikejutkan dengan beberapa kiriman kue bulan dari teman Mama yang datang entah dalam rangka apa. Maklum, hanya ada satu hari raya dalam penanggalan Cina yang rutin masih saya rayakan, yaitu Imlek. Sisanya adalah hari-hari yang nampak dekat, tapi sebenarnya terasa asing.

Bersama Mama, kami duduk mengobrol. Beberapa mulai menyantap kue bulan dengan secangkir kopi serta teh, sampai om saya mengajak saya bicara,

“Ca! Si Tante L (istrinya) noh kemaren kesurupan,” ujarnya sambil cekikikan.

Sebagai seorang penakut yang senang ditakut-takuti, kalimat itu sontak membuat saya bersemangat. Kenapa ia bisa tiba-tiba kesurupan? Bagaimana rasanya kesurupan? Seperti apa hantu yang merasukinya? Dan serentetan pertanyaan lainnya berbaris di kepala, ingin cepat-cepat dijawab.

Tentang Hantu-Hantu yang Lapar

Ternyata beberapa waktu sebelumnya, tante dan om saya mengikuti serangkaian upacara  sembahyang dalam rangka Bulan Hantu di Jonggol, tempat keluarga tante saya tinggal. Pada bulan yang jatuh di bulan ketujuh setelah Imlek ini, dipercaya kalau gerbang alam baka dibuka seluas-luasnya sehingga hantu-hantu yang hidup di dalamnya bebas keluar menjelajahi ‘dunia lain’ tempat kita hidup kini. 

Untuk menghormati hantu-hantu tadi, diadakanlah perayaan dan persembahyangan bagi mereka. Keturunan Cina yang masih merayakannya akan menyediakan makanan sebagai persembahan dan mendoakan mereka.

Tapi, hantu di sini bukanlah sembarang hantu. Dalam penjelajahannya, ada pula hantu-hantu yang tidak tahu kemana harus berpulang karena dilupakan oleh keluarganya, juga hantu-hantu tanpa keluarga. Merekalah hantu yang jiwanya lapar dan ditelantarkan, berkelana tanpa didoakan.

Hantu-hantu lapar inilah yang dijamu dan didoakan dalam sembahyang rebutan di klenteng. Saat mengikuti upacara di klenteng tersebut, tante dan om saya bilang kalau hawanya terasa berbeda dan tidak enak. Hawanya terasa berat. Mereka percaya, kalau pada saat itu, bersamaan dengan penduduk sekitar yang datang, ada begitu banyak hantu yang turut hadir untuk ‘merebutkan’ persembahyangan. 

Setelah persembahyangan selesai, makanan yang berlimpah itu pun dibagikan agar dapat dinikmati oleh setiap orang yang datang, terutama sesama manusia yang juga sehari-harinya lapar dan kekurangan.

Kesurupan pertama terjadi saat sembahyang ini dilanjutkan di rumah keluarga tante saya. Saat itu, meja berisi jamuan makanan disediakan khusus untuk anggota keluarga yang telah meninggal. Cici (kakak perempuan) ipar tante saya berinisiatif untuk menaruh meja jamuan tersebut di jalanan depan rumah. Tante saya sempat melarang karena menurutnya, jamuan itu sudah menjadi “jatah” hantu keluarga yang hadir di teritori rumah mereka. Jika ditaruh di luar, makanan itu akan diperebutkan oleh hantu lain yang berlalu-lalang di luar rumah.

Benar saja, tidak lama setelah itu, cici ipar tante saya dirasuki oleh hantu yang menangis dan tidak berhenti mengucapkan terima kasih karena telah diberi makan. Tante saya, walau sedikit jengkel karena firasat buruknya terjadi, dengan tenang menjawab, “Iya, makan aja. Udah waktunya jam makan siang. Abis itu udahan ya, kasian yang punya badan udah capek.” Lalu beberapa saat kemudian, hantu itu pun ‘keluar’ dengan sendirinya.

Sekitar sebulan setelahnya, tante dan om saya kembali berkumpul di rumah keluarganya di Jonggol untuk sembahyang kue bulan dan memberi ‘jamuan’ terakhir kepada para hantu sebelum mereka kembali ke alam baka pada akhir bulan. Ah, jadi ini alasan kenapa tiba-tiba ada kue bulan yang datang ke rumah. Di Jonggol, tradisi ini kerap diikuti dengan ‘keisengan’ bermain boneka arwah atau jelangkung di malam harinya. Mereka percaya, hantu yang nantinya masuk ke boneka arwah tersebut adalah hantu yang masih terhambat kepulangannya. Nah, pada saat bermain boneka arwah inilah terjadi kesurupan kedua. Kali ini, giliran tante saya yang kesurupan.

Om saya lalu menutup cerita dengan memperagakan (untuk kesekian kalinya) tante saya saat kesurupan, sekaligus memberi pengakuan kalau di saat itu dia memilih ‘kabur’ karena takut. Tawa kami semua pun meledak, disusul dengan omelan i’i saya terhadap perilaku saudaranya itu. Tante L yang duduk di samping saya kembali tertawa. Entah kenapa, raut mukanya mengisyaratkan rasa bangga.

“Nih tante L kirimin videonya (boneka arwah), ya!” ujar tante saya cengengesan. 

“Hmm boleh… Kirim ke WA mama aja tapi,” jawab saya setengah takut. Bagaimana kalau hantu itu masih ‘menempel’ di rekaman dan malah menghantuiku?

Adakah yang Lebih Menyeramkan dari Hantu?

Tumbuh besar, saya memang selalu melihat hantu sebagai ancaman. Mereka selalu punya niat jahat, entah itu untuk menjahili, menakut-nakuti, mencelakakan, atau membalaskan dendam kepada manusia. Gambaran ini tentu tidak bisa lepas dari bagaimana hantu direpresentasikan oleh media dan cerita yang dituturkan selama ini kepada saya. Hantu, bagi saya, adalah makhluk mengerikan tanpa kapasitas untuk merasakan hal lain selain amarah yang timbul dari ruang vakum.

Hantu yang terasa begitu manusiawi dalam cerita tentang sembahyang rebutan tadi mengingatkan saya pada penelitian Bubandt (2012) tentang bagaimana hantu dalam serial hantu Hollywood maupun hantu penyihir suanggi di Tobelo, Maluku Utara semakin ke sini sama-sama dimaknai sebagai sosok yang memiliki sisi psikologis dengan pergolakan batin dan traumanya tersendiri (psychologized)—sama seperti manusia. Hantu, menurut Bubandt, menghantui kita tentang apa artinya menjadi manusia dengan cara-cara yang meresahkan.

Perkara menghantui ini sejalan dengan pernyataan Johnson (2013) kalau gambaran hantu dalam kisah-kisah yang umum beredar merepresentasikan kecemasan tentang suatu hal mendasar yang hilang dalam keseharian kita. Jadi, fakta bahwa kepercayaan tentang hantu-hantu yang lapar ini telah menghantui kita sejak ribuan tahun lalu[1] meninggalkan kegelisahan yang bercampur dengan rasa takjub dalam hati saya.

Di satu sisi, saya takjub karena ribuan tahun lalu, hantu sudah dapat ditempatkan dengan begitu manusiawi, juga bagaimana kepedulian dan keinginan untuk merawat dapat direntangkan hingga lintas dimensi. Gambaran tentang hantu-hantu lapar ini  jauh, jauh, lebih baik daripada hantu yang saya kenal selama ini karena setidaknya di keluarga inti saya, tradisi seperti sembahyang rebutan kerap dianggap sebagai hal ‘klenik’ yang punya konotasi negatif, tabu, dan ‘tertinggal’.

Tapi di sisi lain, ada semacam rasa sakit gigi ketika saya menyadari bahwa sampai hari ini, kecemasan dan masalah yang menghantui kehidupan kita nyatanya masih sama. Masih ada orang-orang yang dilupakan dan ditelantarkan dalam lingkup terkecil hingga secara sistemik, juga orang-orang yang merasakan sakitnya hidup dalam keterasingan. Dan mungkin, kita pun salah satu diantaranya.

Kebutuhan mendasar yang terus-menerus gagal dipenuhi oleh dunia tempat kita hidup ini menggelitik saya. Utamanya karena saya kembali disadarkan kalau perkara mengingat dan setidaknya berbagi—hal menyenangkan ataupun menyedihkan—di tengah sistem yang terus mengajak kita untuk melupakan dan mengasingkan, adalah kerja-kerja yang terasa sepele namun begitu berharga. 

Di ujung pembicaraan hari itu, saya akhirnya menyadari kalau ternyata masih ada hal-hal yang lebih menakutkan daripada hantu. Mereka adalah rasa hidup dalam keterasingan dan dilupakan; juga hidup dalam kelimpahan yang tak pernah dibagi.


[1] Praktik sembahyang rebutan berkembang di masa Dinasti Shang (1600—1046 SM). Tradisi ini pada mulanya adalah tradisi masyarakat agraris agar memperoleh berkat dari leluhur dan dewa menjelang masa panen, yang dalam perkembangannya mendapat pengaruh dari ajaran Buddha. (Margareta, 2018)

Referensi

Bubandt, N. (2012). A psychology of ghosts: The regime of the self and the reinvention of spirits in Indonesia and beyond. Dalam Anthropological Forum (Vol. 22, No. 1, pp. 1-23). Routledge.

Johnson, A. A. (2013). Progress and its ruins: Ghosts, migrants, and the uncanny in Thailand. Cultural Anthropology, 28(2), 299-319.

Margareta, D. A. (2018). Perbandingan Ritual Sembahyang Cioko/中元节 zhōng Yuán Jié Di Klenteng Tridharma Sumber Naga Probolinggo Dan Klenteng Tjoe Tik Kiong Pasuruan. Skripsi. Universitas Brawijaya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content