Senandung Tanpa Lagu

Senandung Tanpa Lagu Cover

Peringatan: Tulisan ini mengandung muatan perundungan dan trauma 

Birama 1: Senandung

Gangga. Begitu ibu memanggilku. Sejak kecil, aku selalu nongkrong bareng ayah di ruang TV dan dengan pede-nya menawarkan diri jadi tandeman beliau untuk karaokean lagu-lagunya Broery Marantika. Lagu favoritku tentu saja “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”  yang dinyanyikan bersama Dewi Yull dan “Duri dan Cinta”. Aku akan bernyanyi sekencang-kencangnya dengan harapan satu gang mendengar suaraku yang tinggi. Ibu dan ayah mengamini anaknya yang keranjingan bernyanyi dengan membelikan sepasang mikrofon tanpa kabel berkualitas paling baik, dilengkapi seperangkat sistem pengeras suara yang sungguh bisa digunakan untuk acara kondangan. Sebuah totalitas tanpa batas–mengingat aku yang saat itu padahal masih berada di masa kelas 1 dan 2 sekolah dasar.

Saat naik kelas 3 pada tahun 2003, kegemaranku bernyanyi semakin menjadi-jadi karena sebuah ajang pencarian bakat bernama Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Masih teringat di benakku bagaimana kerennya Mawar AFI yang digadang-gadang jadi juara bernyanyi di depan Trie Utami, sang juri legendaris. Belum lagi muncul ajang lainnya bernama Indonesian Idol yang menempatkan Joy Tobing menjadi juara pertama di musim pembuka. Lagu hits dari Joy adalah lagu favoritku sepanjang masa: “Karena Cinta”. Bahkan, di usiaku yang sudah 27 ini, aku masih hafal liriknya dari awal hingga akhir. Sungguh indah.

Birama 2: Nada yang bersembunyi

Memasuki kelas 5 sekolah dasar, tepatnya di tahun 2005, membrana tympani alias gendang telinga ibuku sepertinya sudah tak kuasa menahan gempuran nada-nada yang keluar dari mulutku. Semesta tampaknya tak ingin ibu lelah; oleh seorang tetangga kami dikenalkan dengan guru olah vokal dan bermain piano. Tentunya tak ada alasan lain lagi untukku tidak mengikuti les vokal tersebut. Bertempat di gedung Radio Republik Indonesia alias RRI, seminggu tiga kali pita suaraku ditempa dan dibentuk sedemikian rupa. Setiap sesi selalu diawali dengan vokalisasi untuk membentuk pengucapan, pernafasan, dan intonasi yang baik secara teknik. Di akhir vokalisasi, kami selalu diajarkan teknik bernyanyi seperti membentuk vibrato (getaran teratur di ujung nada untuk memberikan aksen indah), membulatkan suara, melisma, dan masih banyak lagi.

Aku menemukan suakaku di umur yang masih belia ketika mengikuti kelas vokal. Suaraku juga terbilang mudah terbentuk dan membuatku menjadi salah satu murid yang menonjol di kelas. Setiap diadakan kompetisi bernyanyi, aku tak pernah absen untuk mengikuti. “Somewhere Over the Rainbow” adalah lagu yang sering kunyanyikan di banyak kompetisi, selain lagu-lagu Sherina dari film “Petualangan Sherina”. Sepertinya aku hafal semua di luar kepala hehe. Setelah mengenal Mike Mohede dan Judika, aku turut menyenangi lagu-lagu dengan liukan-liukan. Walau tak tahu nama genre ataupun teknik liukan tersebut,  aku sering secara otomatis ikut meliuk-liukkan nada seperti mereka berdua. Sampai dengan kelas 1 sekolah menengah pertama, aku akhirnya berkenalan dengan genre lagu dan teknik bernyanyi tersebut: RnB dan riff and run.

Entah mengapa liukkan dengan teknik riff and run yang digunakan para penyanyi RnB sering membawaku ke dimensi lain. Mengenal Aretha Franklin, Fantasia Barrino, Charlie Wilson, dan masih banyak lagi membuatku semangat mengasah kemampuanku meliukkan nada. Playlist di HP-ku penuh diisi oleh lagu-lagu mereka. Pada jam istirahat sekolah, aku juga sering nongkrong di kantin teteh kesayangan dan sesudahnya bernyanyi bersama teman-teman di koridor sekolah. Sampai suatu ketika, aku tak sengaja mendengar ujaran salah satu temanku. “Kayaknya kamu jangan nyanyi kayak dangdut begitu deh, nanti mirip si Gangga,” ujarnya yang tak mengetahui kehadiranku. Pengalaman pertamaku di SMP bertemu langsung dengan ucapan tersebut entah kenapa membuat nadaku tercekat. Ia malu dan bersembunyi.

Birama 3: Menarik suara

Kali kedua. Bisa kupastikan ini kali kedua. Aku teringat bahwa ucapan yang membuat nadaku tercekat pernah kutemui–sebelumnya. Kilas balik ke masa-masa SD, terdapat kompetisi bernyanyi di RRI–tempat les vokalku–yang kuikuti dengan 10 teman-teman lain dari SD-ku. Kami sangat antusias, walaupun tidak ada satupun dari kami yang jadi juara. Pasca kompetisi, salah satu teman dekatku di sekolah menjaga antusiasme tersebut dengan sering mengajakku bernyanyi di ruang kelas. Apa saja kami nyanyikan. Bahkan,  ketika diadakan perkemahan Sabtu-Minggu di sekolah, aku membantu regu temanku mengatur komposisi lagu untuk malam unjuk bakat. Reguku sendiri tentu sudah kuatur dengan kami menyanyikan lagu “Kenangan Terindah” dari Samson secara akapela. Sayangnya, regu temanku tidak tampil maksimal dan sepertinya aku sedikit mendapatkan efek samping dari hal tersebut. Selepas kegiatan, temanku sering mengatakan kepada yang lain untuk tidak bernyanyi sepertiku. Hal tersebut aku acuhkan saja saat itu karena aku tidak mengerti definisi dari “bernyanyi seperti Gangga”.

Kembali ke pertemuan keduaku pada ujaran serupa, aku sepertinya mulai memahami apa yang dimaksud oleh teman SD-ku dahulu. “Aku dangdut setiap mencoba meliuk-liukkan suara”, seringku berucap dalam hati. Di usia remaja, aku mulai sensitif dengan hal-hal yang membuat kepercayaan diriku menurun. Ditambah lagi, teman SMP-ku ini bukan satu kali saja berucap demikian. Pengulangan tersebut sering kali membuatku enggan untuk berolah vokal dan memilih menyimpan hasrat bernyanyi ke skala prioritas paling bawah. Bagaimana kalau rindu? Ketika rindu datang, yang kulakukan adalah memainkan musik sekencang-kencangnya di kamar tidur atau melalui headphone yang tersambung dengan perangkat HP.

Bukannya aku benci musik dangdut, aku suka dangdut dan tiap minggu tak pernah absen menemani ibu menonton kompetisi dangdut di televisi. Namun, bagiku yang bermimpi menjadi penyanyi RnB, kata-kata tersebut menihilkan usahaku berkenalan dengan genre musik kesukaanku, mengesampingkan tekadku belajar riff and run, dan menjadikanku penyanyi yang satu dimensi. Pita suaraku sering kali tidak mau diajak bekerja sama setiap bernyanyi, suaraku pecah sana-sini gelagapan meraih nada yang diinginkan. Sampai akhirnya aku lelah dan menyerah. Aku memilih menyibukkan diri menjadi anggota Paskibra sekolah ketimbang bernyanyi. Bernyanyi adalah suakaku, namun rasanya sulit untuk berdamai dengan nada. Aku, pita suaraku, dan otak besarku seperti orang asing. Aku ingin maju, lobus frontal mengatakan mundur. Dalam respon cepat, kutarik suaraku.

Birama 4: Progresi minor mayor

Beranjak memasuki perguruan tinggi, aku masih kesulitan memproses ketakutanku pada bernyanyi. Namun, kesempatan untuk menjadi pemain musik bagi tim tari fakultas memunculkan sedikit keberanian yang bersapa ria dengan rasa takutku tersebut. Berkawan dengan teman-teman yang peduli pada isu kesehatan jiwa, aku mulai sering mencari-cari tentang trauma masa kecil. Secara umum, yang kudapatkan tentang trauma masa kecil adalah suatu pengalaman yang menimbulkan rasa takut, kecemasan, sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Ketakutan ini menyedot kekuatan, mengikis kegembiraan, dan menguras kepercayaan diri serta sumber daya psikologis dan emosional yang membuat bernyanyi menjadi sulit.

Aku menyadari bahwa stres berkelanjutan terkait bernyanyi yang kualami karena menjadi sasaran intimidasi adalah sesuatu yang harus kulalui tiap harinya. Mungkin bagi sebagian orang dewasa ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, namun bagi banyak orang lain di luar sana, pengalaman serupa membuat nyali mereka ciut melakukan hal yang paling mereka cintai sekalipun.

Copeland dkk (2018) menemukan bahwa 30,9% anak pernah mengalami satu kejadian yang membuatnya trauma. Trauma mempengaruhi seseorang secara emosional dan mental. Namun, jarang sekali yang membicarakan bagaimana trauma dapat mempengaruhi tubuh, termasuk suara. Seperti yang kualami, dahulu aku menganggap bahwa jika bisa menghadapi intimidasi dan perkataan tidak menyenangkan dari teman, maka aku akan berhasil melalui fase buruk tersebut. Sayangnya, aku masih belum memberikan izin untuk suaraku muncul di pendengaran orang lain.

“Jika kamu pernah mengalami trauma sebagai seorang anak-anak atau remaja, kamu mungkin telah menginternalisasi rasa takut untuk dilihat dan didengar. Pikiranmu ada untuk melindungimu dan kemungkinan besar akan memberi tahu bahwa kamu akan aman jika pengganggu atau pelaku tidak dapat menemukan/melihat atau mendengarmu. Ini adalah taktik bertahan hidup yang valid untuk seorang anak atau remaja, tetapi ini menciptakan masalah saat kamu bertambah tua dan melangkah keluar ke dunia. Kamu masih seorang anak yang ketakutan dan berharap tidak terlihat, dan kamu masih tidak memberikan izin suaramu untuk didengar.” -Borzynski, 2019.

Membaca kutipan tersebut, aku masih bingung bagaimana harus memproses ketakutan untuk didengarkan ini. Aku masih belum menemukan cara untuk membuat pita suaraku melunak dan menuruti hati kecil. Pada saat itu, yang bisa kulakukan adalah mencari dan terus mencari apa yang terjadi dengan diriku–dan bahwa traumaku valid dan beralasan. Bahwa trauma ini membuatku rentan terhadap ketegangan yang tidak diinginkan sehingga otot-ototku kaku dan menyempitkan pita suara, menyulitkanku mengontrol volume dan kekuatannya.

Validasi ini menguat ketika 2020 lalu aku membaca cerita Yura Yunita, seorang penyanyi, di media nasional. Yura membagikan bahwa ketika berusia 5 tahun ia pernah dibentak ketika bernyanyi dengan lantang, dikatakan berisik oleh saudaranya sendiri, dan membuatnya takut untuk bernyanyi dengan maksimal. Hal tersebut tersimpan dalam dirinya sampai ia menemukan guru vokal yang menyadari kecenderungannya untuk bernyanyi dengan sangat hati-hati. Yura bahkan harus menjalani hipnoterapi untuk bisa berdamai dengan trauma tersebut.

Pada 2021, aku mulai memberanikan diri untuk membagikan kisahku pada teman-teman di laman sosial media yang kugunakan. Dengan bergetar aku menceritakan ketakutan untuk didengarkan. Di akhir cerita, kuselipkan dengan bernyanyi lagu favoritku saat itu, “Take Me to Church”. Masih terdengar suaraku pecah sana-sini, pernafasan yang amburadul, dan intonasi yang tak sebulat dahulu. Setelah membuka diri, kubaca di kolom komentar banyak sekali orang-orang berhati baik yang memberikan semangat. Yang rindu mendengarkanku bernyanyi. Menyuruhku rajin-rajin posting. Tak kusangka selepas menyanyikan lagu dengan banyak nada minor, yang kudengarkan adalah nada-nada mayor.

Birama 5: Kunci D Mayor

“Yang paling penting untuk diketahui adalah bahwa kamu tidak “terjebak” dengan masalah ini. Meskipun mungkin sulit untuk melewati keadaan sulit dan kenangan yang menyakitkan, kamu dapat bergerak menuju penyembuhan. Tubuh dan pikiran mengkalibrasi ulang setiap 21 hari dan ada harapan untukmu. Tidak ada salahnya kamu terus bergulat dengan masa lalumu. Itu menandakan kamu menyadari tingkat trauma dan cedera yang kamu alami.” -Cole, Penyintas Trauma, 2022.

Aku membayangkan, betapa indahnya jika dunia diisi dengan manusia tanpa trauma, tanpa rasa takut. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu penyintas trauma: mendorong untuk berbicara tentang perasaan mereka dan memvalidasi emosi mereka, membantu mereka memahami bahwa mereka tidak bersalah, bersabar karena setiap individu pulih dengan kecepatan mereka sendiri. Penyintas trauma juga disarankan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang suportif, untuk rajin berolahraga, menemui dan berbicara dengan profesional kesehatan mental, serta masih banyak lagi (Morin, 2022). 

Namun,  yang tak kalah penting bagiku adalah untuk membagikan pengetahuan ini kepada adik-adik, anak tetangga, junior dan senior di sekolah, orang tua kita sendiri, guru, serta orang-orang lainnya; agar kejadian serupa tidak dialami (dan ditimbulkan) oleh lebih banyak lagi orang-orang di luar sana. Agar semakin banyak orang di dunia bisa memenuhi potensi mereka tanpa trauma. Bagaikan mendengar lagu yang dimulai dengan akord D mayor: Bahagia.

Sumber:

Borzynski, P. 2019, The Effects of Trauma on Our Bodies – And Voices, Singing Sense … where Performance meets Psychology, diakses pada 4 Agustus 2022, <https://singingsense.com/2019/10/14/the-effects-of-trauma-on-our-bodies-and-voices/>

Cole, C 2022, How Trauma and Emotional Blocks Affect the Singing Voice, CARI COLE VOICE + MUSIC.CO, diakses pada 4 Agustus 2022, <https://caricole.com/how-trauma-and-emotional-blocks-affect-the-singing-voice/#>

Fauzie, A. S. 2021, Childhood Trauma: Kamu Bisa Melewatinya, Yayasan Pulih, diakses pada 4 Agustus 2022, <https://yayasanpulih.org/2021/03/childhood-trauma-kamu-bisa-melewatinya/>

Morin, A. 2022, Treating the Effects of Childhood Trauma, verywellmind, diakses pada 4 Agustus 2022, <https://www.verywellmind.com/what-are-the-effects-of-childhood-trauma-4147640#:~:text=What%20Is%20Childhood%20Trauma%3F,that%20can%20lead%20to%20trauma

Wardiningsih, V. S. W. 2020, Alami Masa Pilu hingga Berdampak pada Aktivitas Dunia Tarik Suara, Yura Yunita Akui Sempat Ikut Hipnoterapi untuk Obati Trauma Masa Kecilnya yang Belum Selesai: Kalau Nyanyi Kayak Takut Ganggu Orang, Gridpop.id, diakses pada 4 Agustus 2022, <https://pop.grid.id/read/302018233/alami-masa-pilu-hingga-berdampak-pada-aktivitas-dunia-tarik-suara-yura-yunita-akui-sempat-ikut-hipnoterapi-untuk-obati-trauma-masa-kecilnya-yang-belum-selesai-kalau-?page=all>

****

Artikel ini merupakan bagian dari buletin Peluk Seluk Belukku ©2022, selengkapnya kalian bisa mengunduh buletin ini melalui tautan berikut:
Buletin Peluk Seluk Belukku

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content