Hai, perkenalkan, aku adalah perempuan keturunan Betawi yang suka kulineran. Aku ingin berbagi cerita tentang roti buaya, salah satu kuliner khas Betawi. Jujur, awalnya aku takut roti buaya karena besar dan berbentuk hewan buas. Tapi di acara pernikahanku tahun lalu, roti buaya menjadi makanan paling penting dan sakral. Persepsiku atas roti buaya kemudian berubah.
Bertemu dengan Roti Buaya
Sebagai warga Betawi, aku berkenalan dengan roti buaya dari kecil. Tepatnya pada saat berusia delapan tahun. Saat itu aku melihat ada roti berbentuk buaya berukuran satu meter yang terpampang di pernikahan saudaraku. Di acara yang sama aku juga melihat mereka memotong roti tersebut menjadi seukuran genggaman tangan. Kemudian, potongan roti itu dibagikan kepada saudara pengantin perempuan dan laki-laki serta tetangga terdekat yang hadir sebagai bentuk ucapan syukur.
Dari kecil aku sangat takut dengan hewan apalagi hewan buas seperti buaya. Kucing kecil nan lucu saja bagiku menakutkan. Makannya aku kaget saat melihat roti berbentuk buaya yang ukurannya sama dengan buaya asli. Ketika aku mencicipinya, rasanya sungguh tidak enak. Hambar dan keras. Sejak saat itu, aku tidak pernah suka roti buaya.
Ketidaksukaanku terhadap roti buaya bertahan sampai aku berusia dua puluh tahunan. Ketika aku menghadiri acara pernikahan saudaraku, aku masih tidak tertarik sama sekali dengan roti buaya. Melihatnya malah membuatku membayangkan buaya asli yang ada di kebun binatang.
Singgunganku dengan roti buaya berlanjut saat aku berusia 26 tahun ketika aku bekerja di daerah Hang Jebat, Kebayoran Baru. Saat itu, aku sering berjalan-jalan ke Blok M selepas kerja. Suatu hari aku tidak sengaja melewati toko roti yang terlihat edgy dengan nuansa merah bata. Toko roti tersebut diterangi pencahayaan kuning yang membuat roti-rotinya terlihat mengkilap dan hangat. Aku terdiam di jendela toko yang transparan dan memperhatikan aneka roti yang terpajang di sana. Ada roti buaya tetapi dengan ukuran kecil yang membuatnya jadi terlihat lucu dan menarik. Tapi aku belum terdorong mencicipinya karena takut rasanya akan tawar. Kemudian aku melupakan roti buaya kecil itu begitu saja.
Dibalik itu semua, sebetulnya aku suka kulineran. Aku suka menjelajah makanan khas daerah. Bagiku makanan lokal adalah anugerah tersendiri untuk memanjakan lidah. Aku bukan tidak suka makanan yang dibuat di rumah, tetapi merasakan masakan buatan orang lain yang aku beli membuatku senang. Aku juga menjadikan kuliner sebagai salah satu caraku melepas penat.
Di sela-sela aktivitas sehari-hari, bahkan aku sering menonton video ASMR makanan daerah di Youtube. Aku juga suka menonton tayangan youtube yang bercerita soal penjelajahan kuliner daerah sampai suatu ketika secara tidak sengaja aku ketemu dengan video berjudul asal-usul makanan khas Betawi. Video itu ternyata membahas cerita tentang asal-usul roti buaya. Aku lantas memberanikan diri menontonnya.
Asal-usul Roti Buaya
Satu hal yang aku tahu, dulu Jakarta adalah wilayah yang penuh rawa dan sungai dimana reptil seperti buaya menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakat. Buaya diyakini berperan untuk menjaga mata air tetap lestari. Di sungai Ciliwung, salah satu sungai besar di Jakarta yang terkenal sejak zaman penjajahan, terlekat mitos kalau sungai ini dihuni oleh banyak buaya putih.
Folklor Betawi menceritakan bahwa siluman buaya putih merupakan wujud seorang gadis yang menolak dijodohkan karena setia menunggu kekasihnya pulang merantau. Si gadis yang setia akhirnya menghanyutkan diri ke danau. Berkat kesetiaannya, si gadis ditolong dan kemudian diubah menjadi buaya putih oleh para ”penunggu” danau. Dari sanalah asal muasal buaya menjadi lambang kesetiaan terhadap pasangan hidup yang dirayakan dalam upacara pernikahan budaya Betawi.
Selain itu, peranan buaya sebagai penjaga mata air adalah analogi yang cocok untuk mencerminkan keberlanjutan kehidupan dengan berkeluarga, membangun rumah tangga, dan melanjutkan keturunan. Makanya, simbol buaya dibawa dalam hantaran pernikahan.
Tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya simbolisme dan cerita buaya putih ini muncul. Yang jelas pandangan hidup suku Betawi yang ingin bersenang-senang membuat sebagian besar orang Betawi tidak ambil pusing terhadap polemik asal muasal itu.
Bahkan pada awalnya, simbolisasi buaya itu tidak dalam bentuk roti melainkan dari anyaman keraras atau serabut pohon kelapa sebagai simbol siluman buaya putih atau Aji Putih Nagaraksa yang menjadi simbol mistis.
Baru pada masa penjajahan Belanda, pabrik roti mulai masuk ke Batavia. Orang Betawi kala itu memanfaatkannya untuk menggeser simbolis adat Aji Putih Nagaraksa menjadi roti buaya. Hal ini dinilai lebih efisien secara waktu karena roti lebih mudah dibuat dibandingkan anyaman keraras atau serabut kelapa.
Oh ya, ada satu cerita yang aku dengar sejak kecil tentang roti buaya. Awal mulanya roti buaya ternyata tidak dikonsumsi melainkan dipasang atau dipajang di tembok rumah pengantin. Caranya dengan di lempar ke tembok lalu dipaku. Atau kalau tidak dipajang di tembok, roti buaya disimpan di dinding lemari sampai membusuk. Dulu hal itu dimungkinkan karena pada saat itu, bahan baku rotinya memang diciptakan dengan tekstur yang keras.
Beberapa cerita lain juga menyebutkan bahwa roti buaya sebagai simbolis kesetiaan pada saat pernikahan, dibuat untuk menyaingi simbolis bangsa Eropa yang memakai bunga.
Di lingkunganku ceritanya agak berbeda. Pada masa itu roti buaya boleh dipotong potong dan dimakan karena menempelkan roti di dinding rumah dinilai sebagai hal-hal yang mubazir dan sempat mendapat beberapa kali komentar dari banyak pihak. Aku setuju soal itu.
Roti Buaya di Pernikahanku Sendiri
Setiap perubahan zaman ternyata juga mempengaruhi perubahan roti buaya. Bukan hanya soal rasa dan bentuk yang berubah tetapi juga pemaknaannya. Akhirnya, aku tau muasal roti buaya menjadi simbol kesetiaan. Sebagai simbol, roti buaya mengandung doa bahwa siapapun yang memiliki pasangan bisa saling menghargai dan menyayangi satu sama lain. Aku merasa roti buaya ini adalah salah satu makanan adat Betawi yang perlu dilestarikan!
Kalau saja aku tidak menggali asal-usul roti buaya ini, niscaya aku masih tetap dengan anggapanku di awal kalau roti buaya sebatas roti hambar dan berbentuk hewan buas yang membuatku takut. Mungkin aku juga ragu untuk menghadirkan roti buaya di pernikahanku. Namun tepat tahun lalu, pernikahanku diisi dengan roti buaya dengan ukuran tidak terlalu besar serta rasa yang lebih bervariatif (Aku memesan rasa coklat keju). Roti buaya yang kupesan rasanya kenyal, empuk, coklatnya creamy dan memanjakan lidahku, ah enak!
Oh iya, roti buaya itu aku persembahkan untuk ayah dan ibu karena simbol roti buaya mengingatkan aku pada mereka yang memiliki sikap saling percaya, setia dan mendukung satu sama lain. Semoga pernikahanku juga akan seperti itu!
Referensi:
- Productions, Jadefifty. S2 – Episode 6 – Rijsttafel, Sisa Jejak Kolonialisme di Tanah Batavia. Youtube, diunggah oleh Kisarasa, 20 Juni 2023, https://www.youtube.com/watch?v=J7hJhfTES7c
- Roti Buaya. Kemendikbud.go.id, https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=126
- Khairunnisa, Syifa Nuri. Aisyah, Yuharrani., 6 Fakta Roti Buaya yang Identik dengan Pernikahan Adat Betawi. 22 Juni 2023. Kompas.com https://www.kompas.com/food/read/2021/06/22/133400075/6-fakta-roti-buaya-yang-identik-dengan-pernikahan-adat-betawi
- Hendarto, Yohanes Mega. Buaya Putih Dibalik Asrinya Setu Babakan. 11 Oktober 2019. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/10/11/buaya-putih-di-balik-asrinya-setu-babakan/
- Chechya Avayah Tiffany, E. S. (2023). Keunikan Roti Buaya Betawi: Sebagai Lambang Kesetiaan Di Kota. PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora, 695.