Melamun bersama Pamflet Generasi dan Minikino: Menyimak Tantangan dan Harapan Orang Muda di Bali

DSC07360

Ditulis oleh: Zariqoh Ainnayah Silviah

Aktivitas melamun seringkali dipandang sebagai kebiasaan yang tidak produktif. Namun, penelitian menunjukkan bahwa melamun memiliki manfaat penting. Kalina Christoff, seorang peneliti dari University of British Columbia, menemukan bahwa melamun melibatkan beberapa area otak yang berhubungan dengan pemecahan masalah, pemrosesan memori, dan perencanaan masa depan. Pada Sabtu, 15 Juni 2024, Pamflet Generasi dan Minikino mengadakan kegiatan โ€œmelamunโ€ untuk merespons pesatnya pembangunan di Bali.ย 

Melamun merupakan serangkaian diskusi yang diinisiasi Pamflet Generasi di mana peserta menjadi aktor utama dalam proses produksi dan reproduksi pengetahuan dengan berangkat dari pengalamannya masing-masing. Melamun memungkinkan setiap peserta berbagi keresahan serta membangun ide bersama untuk kehidupan yang lebih ideal bagi mereka. 

Melamun edisi ketiga ini diselenggarakan di Micro Art Shop House (MASH) Denpasar dengan mengusung tema โ€œSaat semua semakin cepat, mari melamunโ€. Difasilitasi oleh Wilsa dari Pamflet Generasi dan Ozi dari Minikino, Melamun mendiskusikan bagaimana orang muda yang tinggal dan tumbuh besar di Bali memaknai dan menavigasikan hidupnya di tengah pembangunan yang sangat pesat. Mereka juga diajak untuk bersama-sama membayangkan ulang realita yang lebih baik.

Peserta melamun kali ini beragam, mulai dari orang muda yang sedang mencari kampus untuk berkuliah, mahasiswa, relawan di organisasi masyarakat sipil maupun lembaga pemerintah, jurnalis, pekerja yang sehari-hari bekerja di laut, hingga penulis. Isu-isu yang ditekuni juga beragam, mulai dari disabilitas, hak kesehatan seksual reproduksi, lingkungan, hingga kemiskinan.

Gambar 1: Ragam peserta Melamun saling berbaur saat makan siang bersama.

Kegiatan melamun diawali dengan pemutaran film pemantik berjudul Air untuk Wasa (2015) yang disutradarai oleh I Made Suarbawa atau akrab disapa Birus. Film ini bercerita mengenai seorang anak yang memiliki tantangan dalam mengakses air bersih di desanya. Meski diproduksi pada tahun 2015, film ini dianggap masih relevan hingga saat ini, mengingat air masih menjadi permasalahan serius di sebagian wilayah di Provinsi Bali. 

โ€œBali itu sedang tidak baik-baik saja, kita sedang tidak dalam persediaan air yang mencukupi. Mungkin kita bisa sangat mudah menikmati di daerah-daerah Denpasar atau Bali Selatan. Tetapi masih banyak banget di Bali Utara, Bali Timur, Bali Barat, itu susah sekali yang namanya air,โ€ terang Juni dari Bale Bengong saat menanggapi film Air untuk Wasa.

Setelah menonton film bersama dan berdiskusi tentang film Air untuk Wasa, sesi selanjutnya adalah sesi utama yaitu melamun. Proses melamun mengacu pada tiga pertanyaan pemantik yang telah disiapkan. Pada setiap sesi pertanyaan, fasilitator mengajak peserta merenungkan pertanyaan dan menggambar atau menuliskan kata konsep dari hasil renungannya. Fasilitator juga meminta beberapa peserta menceritakan gambar atau kata konsep yang telah ditulis. Dengan cara ini, melamun tidak hanya membantu peserta merefleksikan keresahan pribadi, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbagi keresahan dengan orang lain. 

Bali dalam Lensa Orang Muda

Peserta memotret Bali dari berbagai sisi. Komang, seorang perempuan penulis menggambarkan Bali dengan simbol perempuan yang menggunakan cepol atau konde, dengan batu di atasnya. Hal ini menggambarkan sistem patriarki di Bali yang tetap menuntut perempuan berperan dalam ekonomi. Ia mengatakan, โ€œPatriarki di Bali itu bukan patriarki absolut. Jadi walaupun patriarkis, perempuan memegang kendali untuk ekonomi, untuk perdagangan. Bahkan ada yang bekerja sebagai tukang bangunan.โ€ Pengamatan ini menyoroti beban perempuan Bali yang berlipat, karena selain harus menjalankan peran domestik sebagai tuntutan dari sistem patriarki, mereka juga memegang tanggung jawab ekonomi. 

Dayu Sri, seorang mahasiswa, dan Pradnya, seorang pekerja sosial, menyoroti perkembangan pesat yang mengubah wajah Bali. Dayu Sri menyatakan keprihatinannya terhadap pembangunan yang berlebihan, โ€œMenurut aku orang-orang dari luar itu sebenarnya mencari yang namanya kultur atau budayanya. Tetapi ketika melihat review di Icon Bali, sebenarnya mall-mall yang berdiri sekarang itu kayak kebanyakan.โ€ Pradnya menambahkan, โ€œSekarang orang-orang itu ingin mendapat cuan yang instan dari pariwisata Bali. Mereka menggunakan segala cara yang eksploitatif biar lebih cepat cuan, tetapi itu merugikan banget khususnya untuk orang Bali itu sendiri.โ€ Kedua perspektif ini menunjukkan betapa modernisasi dan kapitalisme telah mempengaruhi dan sering kali merusak esensi budaya dan tradisi Bali yang sebenarnya dicari oleh para wisatawan.

Gambar 2: Ragam ekspresi wajah peserta dalam mencerna gambar satu sama lain terkait Bali.

Oka, orang muda yang saat ini sedang sibuk mencari kampus untuk berkuliah, menggambarkan pengalaman sehari-hari yang kurang menyenangkan akibat kemacetan dan suhu yang meningkat, โ€œEkspektasi saya kan yang dari Jembrana melihat Denpasar adalah kota yang aktif dan produktif, tetapi aksesnya yang malah mempersulit, bikin tidak nyaman.โ€ Pengalaman ini menggambarkan dampak negatif dari urbanisasi yang cepat tanpa perencanaan yang matang, yang berujung pada ketidaknyamanan baik bagi penduduk lokal maupun wisatawan. 

Sementara itu, Lingga seorang perempuan pekerja menggambar timbangan dengan dua sisi yang berbeda, simbol modernisasi dan budaya, dan menyatakan kekagumannya pada kemampuan orang Bali dalam menyeimbangkan keduanya: “Satu hal yang masih membuat saya kagum dengan orang-orang Bali adalah mereka itu sangat balancing antara modernisasi sama culture gitu.” Namun, ia juga mencatat bahwa belakangan ini keseimbangan tersebut mulai goyah, lebih condong ke arah modernisasi.

Narasi-narasi ini menggambarkan bagaimana keunikan dan tantangan Bali dirasakan oleh penduduknya sendiri. Dari beban berlipat perempuan dalam sistem patriarki, keprihatinan terhadap pembangunan berlebihan yang merusak esensi budaya, hingga dampak urbanisasi yang mengurangi kenyamanan hidup, serta situasi keseimbangan kultur dan modernisasi saat ini. Semua perspektif ini memberikan gambaran menyeluruh tentang realitas yang dihadapi Bali, baik dari sisi positif maupun negatif.ย 

Pengaruh Pembangunan Pesat di Bali bagi Orang Muda

Pradnya menggambarkan pengaruh pembangunan di Bali melalui pengalamannya yang harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup mahal yang dituntut oleh pariwisata di Bali. “Bali itu sangat mahal dan sebagai orang Bali kalau misalnya kita nggak punya uang, kita nggak bisa menikmati Bali,” ujarnya, menggambarkan kesulitan yang dihadapi oleh penduduk lokal dalam menikmati fasilitas di daerah mereka sendiri.

Gambar 3: Gambar-gambar peserta ditampilkan untuk didiskusikan bersama.

Perasaan kebingungan dan kesedihan juga dirasakan oleh peserta lain, seperti Teli, seorang staf di Pamflet Generasi. Ia merasa miris melihat masyarakat Bali yang kesulitan mengakses fasilitas dasar seperti air bersih. Teli berbagi pengalamannya melihat ketimpangan antara kawasan wisata yang mewah dengan kondisi masyarakat di daerah pedalaman Bali yang kekurangan air. “Gue lihat ini dengan mata kepala gue, dan gue gak bisa ngapa-ngapain,” kata Teli. Ketimpangan ini juga disorot oleh Rista, orang muda yang aktif di Forum GenRe Provinsi Bali. Ia menggambarkan perasaannya dengan emoji fake smile. Rista mengkritik kurangnya perhatian terhadap kebutuhan dasar masyarakat lokal dan dampak pembangunan yang merugikan warga Bali sendiri. Rista juga memiliki kekhawatiran akan menurunnya pariwisata Bali karena kehilangan daya tariknya.

Sementara itu, Haris memberikan perspektif dari sudut pandang seorang difabel. Ia mengkritik buruknya infrastruktur yang ada, terutama trotoar yang tidak ramah bagi pejalan kaki dan difabel. “Terus ada motor banyak lewat dan sebagai seorang difabel saya merasa ini tidak safe untuk teman teman difabel terutama disabilitas netra, karena guiding block pun tidak menjamin.โ€ Ia juga menambahkan kekesalannya pada minimnya pelibatan difabel dalam perencanaan Pembangunan. โ€œLebih ke kesal, dan mungkin ini kan sebenarnya sudah direncanakan pembangunannya, dan saya yakin tidak melibatkan difabelnya langsung untuk berdiskusi tentang ini.โ€

Gambar 4: Beberapa gambar peserta menunjukkan impian untuk kota yang aksesibel bagi siapa saja, khususnya warga dengan disabilitas.

Dari berbagai pandangan ini, terlihat bahwa pembangunan pesat di Bali membawa dampak yang kompleks dan beragam. Di satu sisi, ada perkembangan ekonomi dan infrastruktur, namun di sisi lain, banyak penduduk lokal yang merasa terpinggirkan dan tidak dapat menikmati manfaat dari pembangunan tersebut karena perencanaan yang tidak matang dan minimnya pelibatan masyarakat.

Ruang Hidup yang Ideal menurut Orang Muda di Bali

Berbeda dengan dua sesi pertanyaan sebelumnya, pada sesi ini selain menggambarkan hasil renungannya, fasilitator mengajak peserta untuk menambahkan gambar atau kata konsep pada hasil renungan teman sekelompoknya. Hal ini mendorong peserta untuk saling berkolaborasi, membangun imajinasi bersama tentang lingkungan ideal yang diimpikan.

Dita, seorang perempuan yang bekerja di Tsinghua South East Asia Center, dan Dewi, yang aktif di Ubud Writers and Readers Festival, mengungkapkan berbagai ide untuk mengatasi kemacetan. Dita menyoroti pentingnya memperbaiki transportasi publik sebagai salah satu solusi mengurangi kemacetan. “Sepertinya baik untuk mengurangi kemacetan itu mungkin salah satunya dengan membenahi transportasi publik,” kata Dita. Dewi menambahkan bahwa anggaran pemerintah, khususnya APBD, harus dialokasikan untuk membangun fasilitas pendukung transportasi tersebut. Ia juga menggambar lingkungan yang asri sebagai simbol kenyamanan dan keberlanjutan di masa depan.

Juni menggambarkan kelimpahan air yang merata untuk semua orang, dan menekankan pentingnya menjaga pohon sebagai penjaga sumber air. Ia menjelaskan bahwa air adalah sumber kehidupan dan menginginkan semua orang dapat mengaksesnya secara merata. Juni juga mendapat tambahan elemen eco-tourism tanpa pembangunan yang tinggi dari teman sekelompoknya. Sementara pada gambar Dewi, ia menambahkan pasar terbuka untuk menggambarkan adanya ruang untuk berinteraksi dan saling berbagi.

Kelompok selanjutnya mengungkapkan visi mereka tentang menciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman, yang mencerminkan kehidupan di pedesaan dengan akses yang lebih baik terhadap fasilitas dasar. Widi, dari East Bali Poverty Project (EBPP), menggambarkan suasana tenang di lereng Gunung Abang yang menjadi tempat tinggalnya saat ini. Ia membayangkan adanya rumah sakit dan sekolah yang dilambangkan dengan adanya simbol bendera, serta sumur yang melambangkan kerinduan akan akses air bersih. “Jujur, di lereng Gunung Abang di Desa Manik Aji itu mereka menampung air hujan. Bisa dibayangkan kita menggunakan itu untuk segala macam keperluan mereka,” ungkapnya. Widi berharap infrastruktur di tempat tersebut bisa diperbaiki, sehingga kehidupan di sana menjadi lebih nyaman dan layak.

Gambar 5 & 6: Proses menggambar teman Netra yang ditemani dengan teman bisik selama kegiatan; Peserta mengungkapkan harapan mengenai ruang hidup yang ideal.

Cika dari Minikino menambahkan bahwa ia menggambar jalan dan pasar dengan banyak orang serta hewan. Ia memimpikan tempat publik yang dinamis dan inklusif. “Pada intinya, aku memimpikan tempat-tempat publik yang bisa berkegiatan bersama, tempat-tempat musik, menikmati alam, melamun, dan masih bisa diisi akses gitu buat semua orang,” jelas Cika. Sementara itu, Eka menggambar rumah dan kata tenang yang mencerminkan ketenangan hidup di Karangasem yang jauh dari perkotaan. Ia juga konsisten menambahkan gambar pohon dan rumah pada hasil gambar temannya untuk menekankan suasana tenang.

Selanjutnya, Jayanti, anggota GenRe Provinsi Bali, menjelaskan bahwa ia menggambarkan lingkungan yang asri dan bebas polusi, dengan gunung berapi sebagai simbol kelimpahan alam yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. “Gambar gunung yang mendeskripsikan menurut pribadi saya menggambarkan lingkungan yang nyaman, dan itu asri tanpa adanya polusi dan padatnya pembangunan. Dan ini cukup ada gunungnya yang berapi, kita bisa memanfaatkan kelimpahan alam dengan sebaik-baiknya,” kata Jayanti.

Sementara itu Hendra, seorang mahasiswa, fokus pada pendidikan. Ia menggambarkan sekolah untuk menggambarkan pentingnya pendidikan untuk mewujudkan generasi emas 2045. Ia juga berharap generasi muda dapat menjaga pembangunan dan budaya di Bali serta mewariskannya kepada generasi berikutnya. 

Sesi ini ditutup dengan kesimpulan dari Ozi yang merasa bahwa gambaran-gambaran peserta saling melengkapi dan bisa membentuk sesuatu yang ideal jika dikombinasikan. โ€œImajinasi kita itu bisa dibangun bersama-sama meskipun beberapa fokus berbeda,โ€ kata Ozi. Wilsa juga menambahkan, โ€œHarapannya semua keluhan dan lamunannya enggak cuma jadi lamunan aja kedepannya. Tapi bisa jadi kenyataan,โ€ ujar Wilsa, mengakhiri sesi dengan ajakan untuk bertindak lebih lanjut.

Gambar 7: Foto bersama seusai kegiatan Melamun.

Dari melamun kita dapat melihat betapa pentingnya memberikan ruang bagi generasi muda untuk bersuara dan berpartisipasi aktif dalam merumuskan solusi atas tantangan-tantangan yang dihadapi sehari-hari. Melamun bersama Pamflet Generasi dan Minikino merupakan sebuah upaya untuk merangkul aspirasi yang diharapkan dapat menghadirkan perubahan yang bermakna untuk mewujudkan masa depan Bali yang lebih baik. Jadi, saat semua semakin cepat, mari melamun!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content