Ditulis oleh: Ferena Debineva
Kota Kapita adalah kota yang kecil yang padat penduduk. Di kota itu, setiap rumah dan ruko, gedung kantor serta pakaian hanya boleh berwarna hitam dan putih. Penduduk kota Kapita tidak boleh bertutur sepatah kata pun kecuali memiliki surat izin khusus bicara. Izin khusus tersebut dikeluarkan oleh Kantor Gubernur Kota Kapita, yang untuk mendapatkan izin tersebut, penduduk harus mengantre 1 (satu) bulan lamanya hanya untuk mendapatkan waktu 15 menit bicara, dan itu pun hanya berlaku selama 3 (tiga) bulan. Di Kota Kapita, tidak ada suara klakson, mobil ambulans, bel, suara anak-anak bermain, atau bahkan suara remah keripik.
Anjing dan kucing jalanan juga sudah kehilangan pita suaranya, setelah operasi besar-besaran tiga bulan lalu. Bahkan ayam malas berkokok dan burung takut bernyanyi, sejak polisi-polisi tersebut menyiapkan penjara khusus hewan yang terletak di ruang bawah tanah Kantor Gubernur.
Kota Kapita dijaga oleh Polisi Kata yang memantau seluruh warganya di mana pun mereka berada. Setiap sudut dipasang kamera pengintai, setiap telepon dipasang dengan alat penyadap dan timer. Pemandangan ketika penduduk ditangkap oleh polisi kemudian diseret ke penjara hanya karena melanggar waktu bicara bukanlah sesuatu yang asing. Korban terbaru adalah Isha, seorang pemuda yang mengalami kecelakaan, namun alih-alih dilarikan ke rumah sakit, Isha diseret ke penjara tepat setelah dirinya tidak lagi dapat menahan diri, mengerang dan mengeluarkan kata “Aduh”.
Pemerintah Kota Kapita mengatur segala hal, namun yang paling utama adalah kata. Pemerintah kota Kapita mengeluarkan aturan mengenai kata-kata dan bicara sejak 5 tahun lalu, sejak adanya demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Gubernur. Sejak saat itu pula tidak pernah ada pemungutan suara, karena tentunya, tidak perlu ada pemilihan dan tidak perlu ada suara. Pemerintah Kota Kapita kemudian menerbitkan aturannya dalam sebuah buku yang sangat tebal bernama Aturan Kota Kapita. Isi buku tersebut harus diajarkan dan harus dihafalkan semua orang tanpa kecuali. Di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, bahkan di jalan-jalan. Aturan-aturan tersebut diperdengarkan setiap pagi melalui pengeras suara yang dipasang di setiap sudut jalan kota.
Namun, ada satu hal yang sepertinya lupa diatur oleh Pemerintah Kota Kapita, yaitu: tempat sampah. Hanya saja, pemerintah merasa tidak perlu terlalu khawatir. Karena bagi mereka, warganya sebenarnya sama saja dengan sampah kota: sisa, tidak berguna, bau, dan tidak ada yang peduli.
Suatu hari, Toya, seorang anak yang masih berumur 7 tahun tengah bermain-main bersama teman-teman sebayanya. Hari itu mereka memutuskan untuk bermain petak umpet, meski beberapa kali dilarang oleh orang tua mereka. Toya sangat bersemangat ketika melihat tempat sampah di samping rumah Asha yang berisi tumpukan kardus bekas, dan memutuskan untuk masuk dan bersembunyi di dalamnya. Toya berusaha menahan mulutnya dengan kedua tangannya agar tidak tertawa cekikikan. Dua jam berlalu, teman-teman Toya sudah lelah mencari Toya dalam jalanan kota yang hening. Teman-teman yang lain sudah ditemukan dan matahari mulai tergelincir. Mereka memutuskan membubarkan diri karena menyerah mencari Toya, apalagi karena mereka belum mempunyai tiket bicara, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa memanggil Toya.
Jam menunjukkan pukul 6 sore, Toya belum juga ditemukan. Toya masih bersembunyi di tempat sampah dan menunggu teman-temannya mencari dirinya. Ia tidak menyadari bahwa teman-temannya sudah pulang ke rumah masing-masing. Ibunya yang cemas akhirnya mencoba mencari Toya. Ia mengambil buku catatan dan mulai mendatangi satu persatu rumah tetangganya, tapi mereka hanya menggeleng.
Ibu Toya mulai cemas. Ia hanya memiliki sisa waktu bicara 10 detik yang dia simpan dari 3 bulan lalu. Dengan daster hitam putihnya, Ibu Toya keluar mencari keberadaan Toya di lengangnya kota. Ia mulai memanggil “Toya… Toya… pulang”, sementara Polisi Kata memegang timer untuk menghitung waktu. Tidak lama kemudian, terdengar suara isak tangis dari tempat sampah berwarna biru di samping rumah Asha. Ibu Toya mendelik, melirik ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara. Wajahnya pucat pasi, ia sangat mengenal suara itu.
Polisi Kata bersigap setelah mendengar suara tersebut muncul dari dalam tempat sampah. Polisi itu mendekat, dan Ibu Toya semakin tercekat. Waktu bicaranya sudah habis, sedangkan Toya tidak memiliki waktu bicara. Polisi itu kemudian berhenti, mengeluarkan buku Aturan Khusus Kota Kapita dan mulai membaca. Ibu Toya berhenti mematung dan menunggu.
Sepuluh menit, dua puluh menit, empat puluh menit berlalu. Polisi itu masih membolak-balik halaman buku Aturan Kota Kapita. Polisi itu memutarbalikkan buku tersebut, mengecek kembali setiap halamannya, lalu selanjutnya menghela nafas dan beranjak pergi. Kekesalan terukir jelas di wajahnya. Ia tidak berhasil menangkap Toya karena tidak ada aturan yang menuliskan tentang tempat sampah, bahkan di bab khusus mengenai aturan berbicara. Setelah melihat Polisi Kata sudah pergi, Ibu Toya berlari mendekati tempat sampah dan menemukan Toya yang tengah tersedu lirih. Ibu Toya mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya, memaksa Toya berhenti menangis, dan menggendongnya pulang.
Sejak kejadian Toya di tempat sampah itu, gosip dengan cepat beredar lewat tulisan-tulisan tangan, “Toya tidak ditangkap”, “Boleh menangis di tempat sampah”, “Tidak ada aturan bicara di tempat sampah”. Maka sejak saat itu, penduduk secara sembunyi-sembunyi berusaha masuk ke tempat sampah mereka masing-masing untuk bicara. Polisi Kata lagi-lagi mencoba mendekat dan tidak menemukan aturan apa pun, yang membuat kota Kapita heboh dalam kesunyian.
Melihat hal tersebut benar terjadi, orang-orang mulai secara terang-terangan masuk ke tempat sampah yang lebih besar untuk berbincang-bincang. Tempat sampah di rumah masing-masing sudah penuh antrean. Mulai dari antrean ayah yang sedang bertengkar dengan ibu, kakak yang sedang mengajari adiknya untuk mengerjakan soal, bahkan tetangga yang mengantre di tempat sampah tetangganya yang lain karena tempat sampah di rumahnya sudah terlalu panjang antreannya.
Walhasil, jumlah tempat sampah tidak mampu menandingi jumlah orang yang mengantre di tempat sampah. Ya, kini orang-orang yang mengantre kuota kata di Kantor Gubernur semakin berkurang, dan yang mengantre di tempat sampah semakin banyak.
Pada awalnya, diskusi di tempat sampah adalah diskusi basa-basi. Semakin lama, perbincangan yang ada di tempat sampah semakin beragam. Ada yang menyatakan cinta di tempat sampah dekat rumah kekasihnya. Ada juga anak-anak yang mencoba mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Ada juga yang masuk ke tempat sampah hanya untuk bermain ular tangga. Para pejabat diam-diam mulai membangun tempat sampah yang besar untuk diletakkan di dalam rumah. Sementara orang-orang tua mulai mencoba masuk ke tempat sampah yang lebih lebar lagi.
Perbincangan di tempat sampah makin lama menjadi semakin menarik. Penduduk mulai mencoba untuk memindahkan kegiatan sehari-hari mereka ke tempat sampah. Ibu Olli mengirimkan undangan tulisan kepada teman-temannya untuk berdiskusi siang ini mengenai rencana arisan di tempat sampah dekat kantor pos. Tempat sampah itu dipilih karena ukurannya yang cukup besar, bisa menampung hingga enam orang sekaligus, dan sampah yang dihasilkan kantor pos kebanyakan adalah sampah kering berupa kertas. Ibu Olli sibuk berdandan seharian, sementara suaminya hanya geleng-geleng kepala.
Sore itu ternyata yang hadir untuk arisan melebihi ekspektasi Ibu Olli. Tetangga yang datang berjumlah sepuluh, sementara kapasitas tempat sampah hanya muat enam orang. Akhirnya, delapan orang dipaksa masuk dan berdesak-desakan dalam tempat sampah yang sempit. Sementara dua orang lagi, memutuskan untuk membawa tempat sampahnya sendiri, dan membalik tempat sampah tersebut untuk menutup kepala mereka. Meskipun rambut, baju, dan riasan mereka kacau balau terkena sampah, mereka pulang dengan hati yang gembira. Hal tersebut menciptakan pemandangan yang lucu sekaligus menyegarkan. Polisi-polisi Kata pun kewalahan berusaha mengikuti warga satu per satu. Sekarang hampir setiap penduduk berkumpul di dekat tempat sampah.
Kehebohan tempat sampah ternyata tidak berhenti sampai di situ. Salah satu musisi yang terkenal, Piyo, berencana membuat sebuah konser musik di tempat sampah. Piyo berpikir keras karena tentunya penonton konser musik lebih besar dari jumlah anggota arisan ibu Olli. Piyo kemudian berkeliling kota dan melakukan survei perbandingan antar tempat sampah. Sampai akhirnya dia menemukan tempat pembuangan sampah akhir di pinggir kota, yang tumpukan sampahnya setinggi 5 meter.
Piyo mulai merencanakan konser tersebut bersama teman-temannya. Di tempat sampah dekat sekolah adiknya, Piyo membagikan tiket-tiket konser bertuliskan tangan untuk dijual ke tetangga, dan memberikan tugas bagi rekan-rekannya untuk persiapan konser musiknya. Tiket-tiket itu kemudian laku keras, dan habis dalam waktu 2 hari. Piyo menyiapkan kembali tiket-tiket bertuliskan tangan baru untuk dijual, dan kembali habis keesokan harinya. Ternyata, penduduk kota sangat menantikan konser musik tempat sampah yang sudah lama sekali tidak pernah diadakan.
Pada hari konser, antrean menuju tempat pembuangan sampah akhir panjang mengular. Bahkan ada calo yang membawa tempat sampah di kepala mereka masing-masing untuk menjajakan tiket. Beberapa calo juga menjajakan tempat sampah mini yang hanya muat di kepala sebagai suvenir untuk dibawa pulang. Hari itu, setiap orang yang merayakan konser musik, pulang dengan senyum di wajah mereka, meskipun baju dan kepala mereka penuh dengan sisa sampah kulit pisang yang membusuk, basah dari air bekas botol minuman, atau potongan sampah plastik kemasan dari pencuci pakaian.
Sejak konser itu, Polisi-polisi Kata mulai gerah, terutama karena antrean kuota bicara di Kantor Gubernur semakin menghilang, dan semakin banyak orang yang mengantre di tempat pembuangan sampah akhir. Saking geramnya, kantor Gubernur mengeluarkan aturan penutupan tempat sampah akhir.
Sejak ditutupnya tempat pembuangan sampah akhir, warga menjadi sangat marah. Kebun dan rumah penduduk Kota Kapita menjadi penuh sampah. Penduduk kota Kapita mulai membuang sampah ke jalan-jalan, ke sekolah-sekolah, dan ke kantor-kantor; termasuk ke Kantor Gubernur. Kota Kapita berubah menjadi kota yang penuh sampah. Karena itu, penduduk Kota Kapita mulai berbicara di rumah, kebun, dan jalan-jalan yang sekarang sudah berubah menjadi tempat sampah.
Gubernur Kota Kapita semakin geram, dan berusaha menangkap seluruh penduduk Kota Kapita dan membuang mereka ke tempat sampah. Polisi Kata yang mengejar penduduk ke sana kemari juga sudah kelelahan. Penduduk Kota Kapita beramai-ramai membawa tempat sampah mereka ke Kantor Gubernur dan membuang sampah-sampah mereka di sana.
Gubernur berteriak-teriak memberikan perintah sambil menunjuk Aturan Kota Kapita. Penduduk yang marah merebut dan menyobek buku Aturan Kota Kapita dan menyumpal mulut Gubernur dengan lembar-lembar tersebut. Mereka kemudian beranjak pergi sambil tertawa. Gubernur masih meminta tolong dari balik meja. Namun, tidak ada lagi yang mendengarkan. Kata-katanya sudah dianggap sebagai sampah.
Biografi:
Ferena Debineva adalah seorang peneliti psikologi sosial yang menyajikan kisah sehari-hari dalam karyanya sebagai kritik ssoail. Cerpen-cerpen berusaha untuk menggambarkan realitas sosial melalui lensa fiksi yang kuat dan autentik sering kali terinspirasi oleh isu-isu gender, kesetaraan, dan inklusi sosial.