Ditulis oleh: Ken Penggalih
Kali Code adalah salah satu sungai yang membentangi Kota Jogja dari arah utara ke selatan, dan memegang fungsi besar untuk kehidupan warga Kota Jogja. Selain menjadi jalur aliran material erupsi Gunung Merapi, bantaran Kali Code juga menjadi tempat bermukim bagi banyak warga Kota Jogja. Dengan berbagai dinamikanya, Kali Code berperan sebagai saksi yang menyimpan beragam cerita dan sejarah manusia dan ruang hidupnya di Kota Jogja. Meski demikian, cerita dan sejarah di Kali Code kerap kali dinomorduakan, diabaikan oleh manusia yang melintasi jalanan di atasnya.
Dalam rangka menilik lebih dekat dinamika ruang kehidupan warga Jogja di Kali Code, Pamflet Generasi berkolaborasi dengan Kolektif Arungkala untuk mengadakan kegiatan Melamun pada hari Sabtu, tanggal 18 Januari 2025 lalu. Melamun sendiri adalah wadah diskusi yang meletakkan orang muda sebagai aktor utama proses produksi dan reproduksi pengetahuan yang berangkat dari pengalamannya. Pada edisi Kali Code, Pamflet dan Arungkala menyatukan dua metode reproduksi pengetahuan, Walk The Past dan Melamun. Walk The Past menawarkan tur berjalan kaki untuk menelusuri sejarah alternatif dari sudut pandang orang biasa. Lalu, informasi yang diperoleh selama tur direfleksikan dan diinterpretasikan ulang dalam berbagai konteks kekinian sesuai dengan pengalaman peserta. Semuanya kemudian diarsipkan dalam bentuk zine.
Tur berjalan kaki Walk the Past kali ini menggunakan rute Mangkubumi-Jogoyudan, yang memiliki tiga titik pemberhentian utama untuk melihat sejarah sehari-hari Kali Code. Bersama Amos dan Lestari dari Kolektif Arungkala, sejarah yang diarsipkan oleh Kolektif Arungkala dan dibagikan melalui tur berjalan kaki Walk the Past berfungsi sebagai pemantik diskusi dan refleksi bagi para peserta.
“Walk the Past ingin mencari sejarah sehari-hari dan sejarah orang biasa yang tidak ditulis di buku sejarah. Kita biasanya menggunakan kliping, koran-koran, dan arsip-arsip,” jelas Amos ketika membuka kegiatan tur berjalan kaki Walk the Past di titik pertama, yaitu kantor harian Kedaulatan Rakyat. Kantor harian Kedaulatan, yang berada di Jalan Mangkubumi, merupakan salah satu kantor berita terlama di Jogja. Harian Kedaulatan Rakyat merupakan salah satu koran sumber arsip yang menuliskan kisah sehari-hari orang biasa yang biasanya tidak ditulis di buku sejarah, salah satunya kisah keseharian warga Kali Code. Selain kantor harian Kedaulatan Rakyat, Kota Jogja juga memiliki Jogja Library Center sebagai institusi yang mengarsipkan berbagai sejarah orang biasa di Jogja dan Kali Code. Ternyata, sejarah sehari-hari yang diarsipkan oleh Kolektif Arungkala tidak selalu menggunakan media dengan format tulisan berita yang umumnya ditemukan, tetapi juga memakai media lain seperti iklan produk-produk sehari-hari.
Setelah melihat monumen sumber pengarsipan sejarah sehari-hari di Kota Jogja, peserta berjalan ke arah selatan untuk melihat Hotel Toegoe dengan “mengintip” melalui lubang-lubang kecil di pagarnya. “Mengintip” ke dalam Hotel Toegoe menjadi sebuah aktivitas yang menyimbolkan limitasi akses sejarah sehari-hari di Kali Code, dan juga Kota Jogja. Usut punya usut, limitasi akses sejarah sehari-hari yang terjadi di Hotel Toegoe berakar dari praktik privatisasi Hotel Toegoe sebagai situs cagar budaya. Hotel Toegoe merupakan hotel yang dibangun pada zaman kolonial dan merupakan salah satu hotel termewah di Kota Jogja pada zaman itu. Sejak zaman kemerdekaan, Hotel Toegoe berhenti beroperasi dan dinasionalisasi sampai tahun 1960-an, dan, setelahnya, diprivatisasi oleh sebuah yayasan milik keluarga di Jogja. Meski mendapatkan status sebagai cagar budaya, bangunan Hotel Toegoe dibiarkan rusak terbengkalai, dan akses umum untuk masuk ke dalam situsnya dijaga ketat oleh satpam dan dikelilingi dengan pagar yang menjulang tinggi.
“Kalau mau lihat hotelnya, harus ada izin dari yayasan,” ucap salah seorang satpam yang menjaga lokasi Hotel Toegoe. Selain tentang privatisasi cagar budaya dan sumber sejarah, Hotel Toegoe juga menyimpan cerita tentang perjuangan buruh di Jogja dan ketimpangan sosial yang terjadi di Jalan Mangkubumi. Dalam salah satu arsip Kolektif Arungkala, pekerja Hotel Toegoe, yang saat itu disebut sebagai “djongos”, melakukan mogok kerja untuk menuntut upah lebih dari manajemen Hotel Toegoe, yang akhirnya tidak dipenuhi oleh pihak hotel.
Cerita tentang ketimpangan sosial juga dialami oleh pemukiman sekitar Hotel Toegoe, yang tidak mendapatkan perhatian yang sama dengan pembangunan hotel dan infrastruktur di daerah tersebut. “Jadi, jalan ini dari zaman kolonial selalu dipermak… Selalu dipermak dan dibangun infrastrukturnya, tapi sebenarnya yang jadi pekerja tidak dikasih perhatian yang sama dengan jalan ini. Mereka dibiarkan saja untuk membangun pemukiman di belakang jalan ini,” jelas Amos.
Perjalanan tur berjalan kaki Walk the Past dilanjutkan dengan menyusuri bantaran Kali Code untuk secara langsung melihat penataan ruang pemukiman bantaran Kali Code. Selama menyusuri pemukiman di bantaran Kali Code, peserta diminta untuk meminimalisir penggunaan HP agar dapat merasakan lebih dekat kehidupan warga yang bermukim di bantaran Kali Code dan juga keruangan di pemukiman tersebut. Di titik terakhir perjalanan tur berjalan kaki ini, restrukturisasi pemukiman di bantaran Kali Code menjadi titik berat perhatian dari cerita sehari-hari yang berusaha dialami secara langsung oleh peserta.
“Di arsip, bisa dilihat ruang di Sungai Code itu rawan bencana secara kontur, dan banjir parah sering terjadi sebelum ada penataan ulang,” ucap Amos. Di sejarah sehari-hari pemukiman di bantaran Kali Code, terdapat satu tokoh penting, yaitu YB Romo Mangun, yang melakukan penataan ulang pemukiman sebagai salah satu upaya untuk menangani permasalahan tersebut. Penataan ulang pemukiman ini dilakukan dengan mengubah arah pintu depan rumah-rumah di pemukiman bantaran Kali Code, yang awalnya membelakangi Kali Code, menjadi menghadap ke arah Kali Code. Harapannya, ketika pintu pintu depan dibuka dan langsung memperlihatkan Kali Code, masyarakat akan mengetahui kondisi lingkungan Kali Code dengan melihat secara langsung melalui pintu depan sehingga terdorong untuk turut menjaga kebersihan Kali Code. Dengan dilakukannya penataan ulang pemukiman di bantaran Kali Code, banjir perlahan-lahan dapat tertangani.
Selepas menyusuri bantaran Kali Code untuk melihat keruangan permukiman warga, peserta berjalan ke VRTX Compound untuk melanjutkan agenda selanjutnya, yaitu membuat zine. Sebagai wadah untuk merefleksikan pengalaman berjalan menyusuri Kali Code, sesi membuat zine di kegiatan Melamun kali ini diawali dengan mendiskusikan beberapa pertanyaan pemantik dari Pamflet Generasi sebagai fasilitator. Diskusi yang terbangun di forum Melamun kali ini berusaha untuk bertukar pengalaman pribadi sembari merefleksikannya dengan kompleksitas cerita sehari-hari yang ditemukan selama tur berjalan kaki.
Sejarah Sehari-Hari di Kali Code yang Terasa Dekat
Bagi Zefan, seorang warga Jogja yang juga bertempat tinggal di sekitar Kali Code, warga yang bermukim di daerah bantaran Kali Code memiliki tantangan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan terkecilnya, misalnya sumber air yang layak, udara bersih, dan tata letak pemukiman. Meski demikian, tantangan ini dapat berbeda-beda, bahkan antar pemukiman bantaran Kali Code di lokasi yang berbeda, seperti di daerahnya dengan daerah kampung Jogoyudan. Jika dibandingkan dengan kampung Jogoyudan, Zefan melihat bahwa daerah pemukiman yang ia tinggali terasa asri karena ditanami dengan berbagai pohon dan masih terdapat banyak sumur air bersih di pinggir sungai.
Peserta lain yang juga berasal dari Jogja, Bima, menambahkan cerita lain tentang perbedaan realita di daerah Kali Code. Bima bercerita bahwa banyak kafe-kafe yang dibangun di bagian atas bantaran Kali Code, sedangkan pemukiman dibangun di bawahnya, yaitu di area yang langsung menghadap ke Kali Code. Sebagai warga Jogja, Bima merasa perbedaan penggunaan keruangan yang ada di Kali Code ini menjadi dinamika fungsi sosial tata ruang yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut.
Berbicara tentang ketimpangan, Rifki juga merefleksikan fenomena ketimpangan ekonomi yang masih terus terjadi di Jogja hingga saat ini. Bima kemudian menekankan kembali cerita perjuangan djongos-djongos di Hotel Toegoe yang melakukan mogok kerja untuk menuntut upah yang layak. Berkaca pada sejarah perjuangan tersebut, Bima menyimpulkan bahwa isu ketimpangan upah yang sering disuarakan di Jogja, sebagai salah satu provinsi dengan nominal upah terkecil di Indonesia, sudah terjadi bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Merefleksikan Pengalaman Pribadi di Tempat Asal dengan Cerita Sehari-Hari di Kali Code
Randa, seorang teman Tuli yang berasal dari Kalimantan, menemukan perbedaan dan juga kesamaan antara fungsi sungai di tempat asalnya dengan Kali Code. Randa bercerita bahwa di Kalimantan, sungai memiliki kaitan yang erat dengan kegiatan ritus dan spiritual masyarakat. Berbeda dengan Kali Code yang berfungsi sebagai tempat bermukim, sungai-sungai di Kalimantan seringkali digunakan untuk melarung sesaji yang setelah digunakan untuk ritual. Menurut kepercayaan orang Kalimantan, melepaskan sesaji di sungai setelah ritual di sungai merupakan salah satu bentuk untuk mendapatkan perlindungan dari marabahaya.
Peserta lainnya dari Banjarmasin, Box, menuturkan bahwa bagi masyarakat Banjar, sungai bukan sekadar sumber daya alam, tetapi juga dingsanak (saudara). Sungai memegang peranan yang begitu vital dalam kehidupan sehari-hari—tidak hanya digunakan untuk mandi dan mencuci, tetapi juga sebagai jalur transportasi untuk membawa hasil panen. Bahkan, sungai menjadi pusat ekonomi dengan adanya Pasar Terapung, di mana masyarakat menjual hasil panen mereka langsung di atas air. Rumah-rumah di tepian sungai pun umumnya menghadap ke sungai, mencerminkan filosofi “Kedaulatan Atas Sungai” yang menjadikan masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga kelestarian sungai.
Meskipun memiliki konteks sosial dan budaya yang berbeda, baik di Kalimantan maupun di Jogja, sungai tetap menjadi nadi kehidupan masyarakat, membentuk interaksi, ekonomi, dan bahkan cara pandang mereka terhadap lingkungan sekitarnya.
Tentang Resiliensi dalam Menghadapi Kerentanan di Ruang Hidup
Fai dan Flo menanggapi pertanyaan pemantik ini dengan mengangkat kembali berita “Korban Spoor”, salah satu sejarah sehari-hari tentang warga Kampung Jogoyudan yang tertabrak kereta di jembatan kampungnya yang diarsipkan oleh Kolektif Arungkala. Fai dan Flo mengobservasi bahwa banyak kompromi yang akhirnya harus dibuat dalam menghadapi tata ruang infrastruktur yang berdekatan dengan tempat hidup sehari-hari. Misalnya, banyak kecelakaan yang terjadi di rel kereta dekat pemukiman sehingga harus lebih berhati-hati dan menutup rel kereta tersebut.
Amos kemudian menambahkan isu krisis air di Jogja ke dalam bahan refleksi di pertanyaan pemantik ketiga. Amos menjelaskan bahwa isu krisis air merupakan salah satu krisis iklim yang wujud dan dampaknya paling dekat dan terasa jelas bagi masyarakat. Terlebih di Jogja, kondisi krisis air diperparah dengan praktik pembangunan massal, terutama hotel-hotel besar, yang tidak memperhatikan jarak dengan area pemukiman. Oleh karena itu, isu krisis air merupakan salah satu isu besar yang sedang gencar diadvokasikan oleh pegiat-pegiat di Jogja.
Zine sebagai Wadah Menuangkan Refleksi Sejarah Sehari-hari di Kali Code
“Bukan hanya tentang menangani banjirnya, tetapi juga tentang pengetahuan masyarakatnya, …, justru itu yang menurut aku juga penting,” ucap Wucha ketika membagikan hasil refleksi pengalamannya berjalan menyusuri pemukiman di bantaran Kali Code. Sebagai warga Jogja yang sering beraktivitas dengan kelompok anak-anak Kali Code, Wucha awalnya merasa sudah familiar dengan dinamika kehidupan di Kali Code. Meski demikian, Wucha merasa tersentil ketika menemukan sebuah tulisan yang menceritakan tentang hewan-hewan hanyut ketika Kali Code mengalami kebanjiran. Bagi Wucha, tulisan ini menjadi pengingat bahwa ruang hidup tidak melulu tentang infrastruktur fisik, melainkan juga ekosistem di dalamnya secara keseluruhan, termasuk berbagai makhluk hidup lain selain manusia. Wucha kemudian mengarsipkan refleksinya ke dalam zine dengan menggambar sebuah rumah dan kucing.
Refleksi dari Wucha menjadi penutup kegiatan Melamun edisi Kali Code sekaligus renungan bahwa kita terkadang mengabaikan cerita-cerita penting yang kita rasa dekat. Melamun edisi Kali Code kemudian menjadi wadah sederhana bagi orang muda untuk melihat kembali Kali Code sebagai salah satu ikon kota Jogja. Tidak hanya menilik infrastruktur pendukung yang ada Kali Code, tetapi juga merefleksikan Kali Code sebagai ruang hidup yang kompleks, dan memiliki ekosistemnya tersendiri dan berbagai lapisan cerita sehari-hari di dalamnya.