Gemes sendiri nggak sih setiap kali dengar pernyataan dari pejabat publik yang ajaib-ajaib. Sebagai orang yang terpilih untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, pejabat publik seharusnya punya solusi yang baik atau paling tidak berkata yang masuk akal dan menunjukkan kapasitasnya. Yuk, kita simak beberapa pernyataan pejabat publik yang ngawur dan kenapa omongannya itu nggak seharusnya dikeluarkan.
Tarif BPJS Naik Biar Masyarakat Jaga Kesehatan
Kelas I dan II ini kan kenaikannya sebagian besar dari mereka itu untuk bisa menjaga kesehatannya secara preventif.Saya rasa di manapun namanya fasilitas kesehatan itu enggak ada yang seperti kita lakukan waktu dulu, melihat iurannya, kata Puan kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (9/10) seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Pernyataan ini bermasalah karena, pertama, jaminan kesehatan adalah hak asasi manusia yang wajib dipenuhi negara. Negara harus bisa menjamin seluruh warganya dapat terlindungi dengan jaminan kesehatan ini. Jika tarif BPJS dinaikkan dua kali lipat ada beberapa skenario yang dapat terjadi, satu, banyak keluarga yang akan menurunkan kelasnya, dua, ada keluarga miskin yang keluar dari keanggotaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) skema PBI (Penerima Bantuan Iuran) karena pemerintah mengurangi kuotanya.
Kedua, pernyataan ini bertendensi mengaburkan realita. Banyak rakyat yang sakit bukan karena semata-mata malas menjaga kesehatan. Kita perlu berpikir tentang rakyat yang memang secara struktural miskin, sanitasi tidak layak, lingkungan tidak sehat dan sulit dapat layanan kesehatan. Kita juga perlu ingat korban kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan, korban penggusuran, konflik agraria, dan masyarakat miskin kota juga bukan orang yang malas menjaga kesehatan. Mereka adalah korban dari sistem yang buruk dari pemerintah. Selain itu defisit BPJS bukan sepenuhnya salah rakyat yang gampang sakit, melainkan buruknya pengawasan, transparansi dan tata kelola pemerintah dalam program BPJS. Dari tahun ke tahun defisit BPJS berkisar antara 28T hingga 32T. Mengapa pemerintah justru menaikkan tarif BPJS dan membebani rakyat lagi alih-alih memperbaiki sistem yang buruk?
Guru Honorer Auto Surga
“Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer Rp 150 ribu, nikmati saja, nanti masuk surga,” kata Muhadjir Effendy pada peringatan Hari Guru Sedunia dikutip dari detik.com
Apa bedanya guru honorer dengan guru berstatus PNS? Mereka sama-sama punya tugas dan tanggung jawab yang besar melakukan transfer ilmu sekaligus mengembangkan karakter siswa-siswi. Kita juga mungkin bertanya-tanya kenapa masih ada sistem guru honorer sedangkan yang mereka lakukan juga sama dengan guru berstatus PNS? Pernyataan Mendikbud tentang guru honorer beberapa waktu lalu bermasalah karena, pertama, pejabat publik membawa-bawa surga untuk perkara duniawi. Bicara tentang solusi yang nyata adalah tugas seorang pejabat publik. seorang guru honorer butuh makan, butuh membayar tempat tinggal, guru honorer juga bayar pajak pada negara. Kenapa pejabat yang digaji uang rakyat berbicara seperti itu? Dia punya kuasa di sistem mengapa tidak melakukan perubahan?
Daripada berbicara tidak sensitif seperti itu, lebih baik Muhadjir sebagai Mendikbud menyampaikan apa saja yang sudah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki nasib guru honorer. Toh kalau bercanda, ini sama sekali tidak lucu. Dengan berharap akan janji masuk surga juga tidak akan membuat keadaan hidup guru honorer jadi lebih baik. Guru honorer sudah berkali-kali menuntut hak kenaikan upah. Di beberapa daerah ada guru yang hanya bergaji Rp 150 ribu per bulan padahal pemerintah sudah menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) untuk masing-masing provinsi yang jumlahnya layak. Apakah guru honorer tidak berhak hidup layak dan harus menunggu hari akhir untuk bisa bahagia?
Pengungsi Nyusahin Negara?
Sekarang sedang dilakukan sosialisasi bahwa tidak ada gempa susulan yang lebih besar lagi, tidak ada tsunami, diharapkan masyarakat bisa kembali ke tempat tinggal masing-masing untuk mengurangi besaran pengungsi. Pengungsi terlalu besar ini sudah menjadi beban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Wiranto seperti dikutip iNews, 1 Oktober 2019.
Pernyataan bahwa pengungsi gempa Maluku membebani negara jika tak pulang ke tempat tinggalnya masing-masing merupakan sebuah pernyataan yang tidak sensitif. Padahal, penyintas bencana gempa bumi mengungsi karena takut akan gempa susulan. Pernyataan ini dikeluarkan hanya selang empat hari dari kejadian gempa (26/9).
Mengapa pernyataan ini bermasalah? Pertama, belum ada pernyataan yang menjamin bahwa penyintas bencana akan aman, terlebih ada ribuan warga yang rumahnya terdampak gempa sehingga memang perlu mengungsi. Hingga 8 Oktober Badan Nasional Penanggulangan Bencana (PNPB) mencatat ada 1.149 gempa susulan. Kedua, pernyataan yang berhubungan dengan anggaran negara tersebut tidak tepat dikeluarkan oleh pejabat publik kepada korban bencana. Lagi pula tidak ada orang yang menginginkan dirinya menjadi pengungsi. Motivasi utama mereka pergi dari tempat tinggal ialah menyelamatkan diri bukan sengaja untuk memanfaatkan uang negara.
Meski sudah meminta maaf atas pernyataannya, kejadian ini menunjukkan sesuatu yang lebih besar, yaitu buruknya penanganan kebencanaan di Indonesia. Ini membuat kita bertanya-tanya apakah memang negara tidak mampu membiayai pengungsi jika jumlahnya banyak? Kapan seseorang boleh mengungsi? Apakah harus melihat anggaran negara? Rasa-rasanya tidak juga. Sebagai warga negara kita berhak mencari tempat aman untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana alam dan pemerintah berkewajiban untuk menjaminnya.
Polusi Dilawan Pake Lidah Mertua
“Dinas kehutanan mendapatkan rekomendasi beberapa tanaman yang diharapkan bisa ikut mengendalikan pencemaran udara,” kata Anies Baswedan dikutip dari Suara.com.
Jakarta menjadi kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Bagi sebagian orang ini memang nggak mencengangkan sih. Namun, kita belum benar-benar sadar kalau kualitas udara di Jakarta seburuk itu sebelum kita dapat laporannya dari Airvisual, sebuah website yang mencatat kualitas udara kota-kota besar di dunia secara real time. Aplikasi ini mencatat Air Quality Index (AQI) di Jakarta sempat mencapai 160, yang artinya sangat tidak sehat. Koalisi Ibukota yang terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, WALHI, Greenpeace, dan 31 individu pun menggugat pemerintah Jakarta terkait polusi udara ini. Menanggapi buruknya kualitas udara di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan justru mengatakan polusi udara bisa dikurangi dengan menanam lidah mertua (Sansevieria trifasciata).
Balik lagi ke pernyataan Anies Baswedan, kami menemukan beberapa masalah. Pertama, usaha ini sama saja memindahkan tugas pemerintah untuk mengurangi polusi secara sistematis ke tangan masyarakat dengan merawat lidah mertua. Masalahnya, solusi macam ini tidak benar-benar menyasar akar permasalahan yaitu polusi yang dihasilkan oleh kendaraan. Lagi pula, kedua, cara ini nggak sustainable atau nggak bernafas panjang selama pemerintah nggak menghentikan perilaku buruk industri pencemar udara dan masyarakat. Pakar tanaman hutan kota Endes N Dahlan mengatakan lidah mertua juga bisa mengurangi polusi, tapi tidak setinggi tanaman pepohonan kemampuan serapan polutannya. Gubernur Jakarta bakal bikin lelang pengadaan sansevieria besar-besaran buat ditanam di gedung-gedung perkantoran. Pertanyaannya: butuh berapa banyak ya kira-kira? Kebayang nggak dana itu lebih baik digunakan buat hal lain yang lebih berefek. Apakah kamu kepikiran solusi lain yang lebih punya efek?
Daripada Gosip Mending Tanam Cabai
“Kalau ibu-ibu bisa mengurangi ngegosip lima menit sehari, kemudian digunakan menanam cabai lima pohon, maka tuntas persoalan cabai,” kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dikutip dari Republika.co.id Kamis (12/7/2017)
Di tahun 2017 harga cabai pernah melambung tinggi melebihi harga daging. Menanggapi kelangkaan cabai Mentan justru meminta ibu-ibu untuk mengurangi bergosip dan menanam cabai di halaman rumahnya. Kenapa pernyataan ini bermasalah? Pertama, tidak menyasar pada sistem. Seharusnya Mentan menyatakan apa sih yang bermasalah pada produksi dan distribusi cabai dan solusi apa yang sedang diusahakan kementerian pertanian. Bagaimana dengan ibu yang berjualan makanan yang butuh pasokan cabai setiap hari, apakah ia juga harus menanam cabai sendiri untuk memenuhi kebutuhannya? Kedua, pernyataan ini sangat seksis atau mendiskreditkan gender tertentu. Ia mengasosiasikan ibu-ibu sebagai orang pemalas dan suka bergosip sehingga perlu didorong untuk melakukan sesuatu. Mentan perlu tahu bahwa tidak semua ibu-ibu suka bergosip. Lagi pula, bapak-bapak ada juga yang suka bergosip, kok. Jadi kegiatan bergosip tidak hanya eksklusif terjadi pada perempuan. Mengapa tidak menyuruh bapak-bapak menanam cabai juga?
Epilog
Pernyataan-pernyataan pejabat publik di atas punya kesamaan yaitu punya tendensi menyalahkan masyarakat sebagai pihak yang pasif dan malas. Solusi yang ditawarkan juga membuat seolah-olah kewajiban pemerintah pindah ke masyarakat. Meskipun masyarakat memiliki kekuatan kolektif untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak berarti kewajiban pemerintah hilang begitu saja. Berdoa kepada Tuhan, menanam komoditas sendiri, dan mengusahakan kebutuhan sendiri juga bisa dilakukan masyarakat untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi, namun pemerintah perlu menetapkan peraturan yang sistematis, strategis, melindungi segenap masyarakat tanpa diskriminasi, dan tidak berusaha memindahkan tanggung jawabnya. Buat apa ada pemerintah yang kita bayar pakai pajak hasil kerja keras kita kalau kerjanya hanya menyalahkan rakyat?