Pada tanggal 25 Mei kemarin, George Floyd kehilangan nyawanya setelah seorang polisi menindih lehernya dengan lutut selama kurang lebih sembilan menit. Rekaman momen kematiannya tersebar ke seluruh dunia dan menyulut protes besar-besaran, tidak hanya di Amerika Serikat tapi juga di berbagai negara. Ratusan ribu orang bergabung dengan gerakan #BlackLivesMatter, mengutuk kekerasan sistematis yang dilakukan dan dilanggengkan melalui aparat kepolisian.
Momentum #BlackLivesMatter juga turut bergaung di Indonesia. Persoalan rasisme dan kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat Papua adalah salah satu masalah paling nyata yang bisa kita lihat di negara ini. Upaya menaikkan kesadaran mengenai masalah ini pun kemudian mulai dinaikkan melalui tagar #PapuanLivesMatter.
Berbagai tulisan dan diskusi mulai digalakkan di Indonesia. Salah satunya adalah diskusi oleh #BlackLivesMatter dan Papua, yang diselenggarakan oleh Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), dengan pembicara Cisco, Mikael Kudiai, dan Veronica Koman (tonton diskusinya lewat sini). Cisco menceritakan pengalamannya menghadapi rasisme sebagai salah satu mahasiswa Papua yang belajar di Jawa. Ia menceritakan insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016, yang dipenuhi dengan tindak kekerasan oleh aparat dan juga ormas. “Obby Kogoya,… dia diperlakukan kurang lebih sama seperti Floyd… dikejar sama aparat, lalu ditarik, diseret, ditendang jatuh, kepalanya diinjak, dan pas mau diangkat hidungnya ditarik… lalu dia dikriminalisasi,” jelas Cisco mengenai tindakan aparat terhadap mahasiswa Papua. Ia menjelaskan bahwa ini bukanlah hal baru. Kriminalisasi terhadap mahasiswa Papua memang sangat sering terjadi, tapi saat mereka yang menjadi korban kekerasan dan mengadukan kepada pihak yang berwenang justru sulit mendapat keadilan.
Di akhir sesi pemaparan, pengacara Veronica Koman memberikan rekomendasi mengenai hal-hal konkret yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia untuk memahami isu rasisme di Indonesia dan bersikap dengan baik. Kami merangkum beberapa rekomendasi tersebut dan menambahkan beberapa sumber lain yang bisa membantu menambah pemahaman.
Pertama, kita harus mendengarkan.
Dengarkan orang Papua saat bercerita pengalaman mereka menghadapi rasisme. Ingat, cerita pengalaman orang Papua tentang diskriminasi rasial bukan untuk didebatkan kebenarannya. Yang menghadapi dan merasakan buruknya perlakuan rasisme setiap hari di Indonesia adalah orang Papua, bukan orang Indonesia.
Kedua, tanyakan informasi tentang Papua kepada orang Papua.
Pastikan pengetahuanmu mengenai isu Papua datang dari informasi yang benar, bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang pastinya lekat dengan sikap rasis.
Ketiga, edukasi diri.
Seperti yang dijelaskan dalam artikel Tirto.id, rasisme adalah masalah Indonesia, bukan orang Papua. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk mengedukasi diri mengenai rasisme pun ada di kita. Orang Papua tidak punya kewajiban untuk mengedukasi kita tentang trauma dan kepedihan yang mereka alami. Ada banyak kanal yang bisa membantu kita mengedukasi diri.
- Sebagai langkah awal edukasi diri, kamu bisa mulai dari komik oleh New Naratif berjudul “Sama Sepertimu, Aku Manusia,” atau lewat film-film tentang Papua yang ada di https://papuanvoices.net.
- Kamu bisa mengakses laman https://kitaharusbicaratentangpapua.carrd.co/ yang sudah mengumpulkan berbagai sumber bacaan, kanal berita, hingga link untuk menandatangani petisi dan mengumpulkan donasi.
- Untuk mendapat berita yang berimbang, kamu bisa membaca berita dari media https://jubi.co.id/ dan https://suarapapua.com/.
- Beberapa buku dan kajian bisa diakses lewat link ini. Atau kamu bisa mulai dengan mengetikkan West Papua Academic Journal di Google.
Dengan mengedukasi diri, kita bisa jadi lebih paham mengapa perlu mendukung penjaminan HAM bagi orang Papua.
Keempat, suarakan.
Setelah mendapat informasi dan cerita dari orang Papua, kita bisa mulai bersuara. Sebagai orang Indonesia, kita perlu menyuarakan dan menuntut pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah kita sendiri. Tidak cukup dengan menjadi ‘tidak rasis,’ kita juga perlu bersuara. Tekan pemerintah kita untuk berhenti melakukan pelanggaran HAM di Papua kalau memang mengaku diri sebagai negara demokratis.
Keempat poin di atas adalah contoh beberapa hal mudah yang bisa kita semua lakukan. Permasalahan rasisme terhadap orang Papua begitu kompleks dan berkelindan dengan banyak masalah lain seperti korupsi dan eksploitasi alam. Selain itu, ia sudah terjadi sejak pertama kali Papua dimasukkan ke dalam kekuasaan Indonesia. Belajar dan mulai menyuarakan kebenaran isu rasisme negara Indonesia adalah kewajiban kita sebagai warga negaranya.