Pertengahan 2020 adalah momen aku menjadi seorang paman bagi anak perempuan dari kakakku. Sejak hari itu, aku memiliki rasa penasaran akan sejauh mana kedekatan dengan anak itu. Bertemu untuk pertama kali setelah dia berusia empat bulan terasa cukup canggung karena takut melukai atau menularkan flu bahkan COVID-19. Sampai akhirnya, di minggu kedua pertemuan aku baru merasa cukup dekat dan berani bermain bersama dia.
Seperti paman pada umumnya yang melihat pertumbuhan anak sedari gulang-guling sampai merangkak, terbesit perasaan ingin mengabadikannya. Membagikan momen bersama anak kecil atau ponakan seakan menjadi salah satu to do list penting. Apalagi, hanya perlu satu sampai tiga sentuhan di smartphone untuk momen itu dapat dilihat dan dinikmati oleh teman atau pengikut kita di media sosial. Lalu, perasaan mendapat tanggapan atau reaksi dari orang lain serasa memberi energi baik untuk kita membagikan cerita-cerita lain tentang anak kecil itu atau diri kita sendiri.
Dilema Jejak Digital
Sayangnya, seperti yang kita semua tahu, hadirnya media sosial dan internet punya dampak buruk dan bisa menjadi boomerang. Tidak jarang ditemukan pencurian, pemanfaatan, dan penyalahgunaan data oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Suka tidak suka, hal semacam ini akan berdampak terhadap kita sebagai pengguna media sosial ataupun internet. Kegiatan membagikan momen atau cerita di media sosial dengan intens bisa jadi berlebihan, atau biasa dikenal dengan istilah overshare.
Mungkin banyak yang belum menyadari bahwa jejak digital di internet itu nyata. Sekali kita membagikan momen kita di internet, momen itu akan selalu tersimpan di internet dalam bentuk foto yang kamu bagikan ataupun metadata. Foto atau momen yang kita unggah di internet dan telah dihapus sayangnya masih akan tetap ada walau dalam bentuk metadata.
Setelah terpapar informasi terkait dampak dan resiko yang ada, aku kembali teringat akan pentingya konsen dan privasi di dunia digital hari ini. Aktivitas overshare akan sangat berpotensi membocorkan dan menyebarkan informasi berlebihan. Dari situ, hadirlah pertanyaan ke diri sendiri: Apakah bijak membagikan foto atau video seorang bayi yang baru bisa merangkak ini aku bagikan di media sosial? Apalagi seorang bayi atau mungkin orang tuanya belum begitu terpapar soal konsen dan privasi.
Satu yang aku ingat jika ingin mengambil foto atau video seorang anak, kita bisa menanyakan kesediaan atau konsen dari orang tuanya sebagai perwakilan. Tapi, karena terasa canggung menanyakan atau mendiskusikan hal seperti ini di keluargaku, akhirnya aku memutuskan untuk tidak dulu melakukannya. Toh, urgensi membagikan momen seperti itu bukan sebuah kewajiban–walau perasaan gemas tetap hadir berkali-kali.
Berbagi perlu hati-hati
Di 2015, investigator Australia menemukan lebih dari 45 juta foto anak dalam kegiatan sehari-hari di situs berbagi pedofil. Foto-foto itu diunduh dari berbagai situs media sosial dan blog keluarga. Hal ini sangat memprihatinkan, apalagi di Indonesia belum ada regulasi spesifik terkait privasi seorang anak. Terlebih, bagian terkait anak dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi masih belum jelas. Hak atas privasi dan informasi pribadi pengguna juga berpotensi dirugikan oleh Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik. Misalnya pada pasal 21, Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memberi akses informasi pribadi pengguna ke Kementerian atau lembaga lainnya untuk ‘pengawasan’.
Ini mungkin menimbulkan pernyataan, emangnya aku sepenting itu? Jawabannya tidak lain adalah: benar adanya. Siapa pun itu penting di internet karena jejak informasi dan data yang kamu miliki di internet pada akhirnya akan dikumpulkan dan menjadi basis data membentuk profil marketing untuk kepentingan perusahaan, negara, atau siapapun itu yang menjadikan kita sebagai target.
Setelah menulis ini aku sebagai paman lebih tersadarkan dari pertanyaan awal karena setiap orang memiliki preferensinya dan tidak menyalahkan orang yang membagikan momen-momen bersama anaknya. Buat kamu yang masih ingin membagikan momen-momen bersama keponakan atau anak kecil, perlu mengingat resiko-resiko yang ada dan lebih mindful. Selama proses membagikan foto atau video seorang anak sudah diberikan konsen oleh anak tersebut atau orang tuanya, kamu menjadi bagian yang sadar akan konsen dan privasi serta mengurangi dampak yang merugikan anaknya di masa depan.
Referensi
Are Parents Exploiting Their Kids on Social Media? | The Atlantic
Hak Anak Atas Privasi Digital
https://venuemagz.com/literasi-digital/hak-anak-atas-privasi-digital/
Mengenal Oversharing di Medsos dan Cara Mencegah Efek Negatifnya
https://tirto.id/mengenal-oversharing-di-medsos-dan-cara-mencegah-efek-negatifnya-f8eM
The dangers of oversharing
https://support.microsoft.com/en-us/topic/the-dangers-of-oversharing-79330a32-4ee1-433a-812e-fe4bb3d34511
The perils of ‘sharenting’: The parents who share too much
https://www.aljazeera.com/features/2020/10/11/facing-the-music-the-parents-who-share-too-much
WhatsApp, Google, Instagram, bahkan game online yang nggak daftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) privat bisa diblokir besok??? | The Rights Act, @amnestyindonesia
https://www.instagram.com/p/CgL7fMwPv10/?utm_source=ig_web_copy_link
Why Kids Are Confronting Their Parents About ‘Sharenting’ | NYT Opinion