Sepeda hijau giok berkeranjang ini saya kayuh hampir setiap pagi menuju kantor. Sepeda ini adalah sepeda kelima saya dan sudah menemani rutinitas ke kantor yang jaraknya kurang dari 2 km dari tempat tinggal selama 4 tahun. Saya tidak ingat jelas kapan pertama kali memiliki sepeda dan menyadari bahwa bersepeda juga merupakan sebuah olahraga. Yang saya ingat dan tahu, sepeda adalah alat bermain yang bisa mengantarkan saya mengelilingi komplek dengan usaha fisik yang lebih kecil daripada jalan kaki.
Dengan modal internet, saya mendapatkan informasi bahwa sepeda telah masuk ke Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Kata “jengki” yang sering kita dengar untuk menjuluki sepeda klasik itu berasal dari kata “yankee”, sebutan yang muncul dari orang Amerika di masa invasi Indocina tahun 60-an, dan juga istilah gaya arsitektur modern pasca perang yang dipengaruhi oleh Amerika. Julukan ini jadi relevan dengan penggunaannya yang menjadi penanda jaman untuk sepeda klasik di tahun 1960an. Sedangkan, popularitas sepeda sebagai olahraga balap sudah ada sejak jaman Belanda di Kota Semarang, namun sempat hilang dari peredaran dan kembali populer dilombakan pada Pekan Olahraga Nasional II di Jakarta Oktober tahun 1951.
Datangnya Sepeda, Pandemi, dan Tren Sepeda
Pada Februari 2020, saya memutuskan untuk membeli sebuah sepeda. Keputusan ini didasari dengan pertimbangan menghemat biaya hidup untuk merantau di Jakarta. Pilihan ini juga makin valid dikarenakan kota Jakarta adalah kota yang memiliki transportasi umum memadai untuk berkeliling seluruh wilayahnya. Jadi, sepeda saja cukup untuk menjadi moda transportasi jarak dekat dan menengah. Selain hemat, hitung-hitung tidak menambah beban polusi kota.
Belum sampai 50 kilometer sepeda itu dikayuh, virus COVID-19 hadir di Depok dan akhirnya menjadi awal pandemi yang mengharuskan seluruh warga di rumah saja dan tidak bekerja dari kantor. Setelah situasi pandemi cukup mereda dan warga sudah bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan ketat, tren bersepeda kemudian hadir. Tren ini seakan menjawab dan memberikan preferensi olahraga yang berbeda untuk membuat tubuh lebih segar dan imun kuat. Bahkan, menurut Katadata, pembelian sepeda naik hampir lima kali lipat pada Agustus 2020 dalam catatan Tokopedia.
Beberapa orang melihat tren bersepeda ini sebagai pelarian konsumerisme berkedok olahraga. Mungkin opini seperti itu benar karena pada hari ini, jalanan tidak seramai itu lagi dengan sepeda dan beberapa usaha sepeda akhirnya gulung tikar. Dibuktikan juga dari catatan APSINDO (Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia) bahwa selama 2023 berjalan, diperkirakan penjualan sepeda sudah turun hampir 40 persen dari tahun sebelumnya.
Namun, terlepas dari naik turunnya tren sepeda di tahun 2020 hingga 2023, tidak bisa dipungkiri bahwa semangat bersepeda memang sudah ada sedari dulu. Kita bisa melihat salah satunya dalam gagasan dan semangat mewujudkan udara bersih di kota yang melahirkan komunitas Pekerja Bersepeda (Bike to Work) Indonesia hampir 20 tahun lalu. Hingga hari ini kampanye, advokasi, edukasi, bakti sosial, hingga kolaborasi sudah banyak dilakukan oleh komunitas Bike to Work (B2W) dan hampir setiap tahun mereka laporkan di situs b2w-indonesia.id.
Warna Berbeda Bersepeda di Jakarta dan Palu
Selain menjadi moda transportasi dan alternatif olahraga, bersepeda juga menjadi pintu masuk saya mengenal beberapa hal seperti hak-hak personal dan keamanannya. Di beberapa kanal media sosial pernah ramai video penjambretan telepon seluler dari motor ke pesepeda saat di area Sudirman, Thamrin, Jakarta. Resiko ditabrak oleh kendaraan lain seperti motor dan mobil juga cukup besar dan pernah terjadi di beberapa wilayah seperti Jakarta. Hal ini membuat keamanan menjadi perhatian utama bagi saya, dan mungkin pesepeda lainnya, untuk lebih waspada serta sigap dalam bersepeda.
Saat saya bersepeda di jalanan yang tidak begitu lebar dan padat di kota asal saya, Palu, saya merasa lebih aman ketimbang bersepeda di Jakarta meski tanpa adanya jalur khusus sepeda. Bisa saja perasaan ini juga hadir karena saya adalah warga Palu yang sudah mengetahui seluk-beluknya, dan merasa sebaliknya di Jakarta karena saya adalah warga pendatang.
Hal-hal yang menyenangkan lainnya saat bersepeda di Palu adalah saya bisa “gocapan” alias gowes cari sarapan sendiri maupun bersama teman pesepeda lainnya di sekitar pusat kota. Palu yang cuacanya cukup panas meski di pagi hari, terasa lebih sejuk dan menyenangkan ketika bersepeda. Kuncinya adalah tidak lebih dari jam 10.30.Sekali dua kali saya juga pernah gocapan di Jakarta saat pagi hari ke arah Car Free Day Bundaran HI maupun Blok M. Rasanya sama menyenangkan, namun di perjalanan perasaan was-was, khawatir, juga takut tersesat masih sering muncul. Apalagi jika bersepedanya sendirian.
Kembali ke jalur sepeda Jakarta, beberapa wilayah jalur sepeda yang pernah saya lewati seperti Buncit Raya, Mampang, dan Pancoran cenderung memiliki bekas tambalan-tambalan aspal dari proyek-proyek pembangunan jalan ataupun optik fiber provider internet. Padahal, kebijakan jalur sepeda ini menurut saya sudah sangat baik dan merupakan tindakan afirmatif tersendiri bagi pesepeda yang juga mendukung gerakan antipolusi.
Pengamatan saya, komunitas sepeda di Jakarta juga cukup banyak dan masih cukup aktif. Namun, rasanya tidak semasif di tahun 2020-2022 awal saat semua orang berbondong-bondong bersepeda. Saya menduga bahwa kembali bekerja ke ruang kantor sepertinya menjadi salah satu alasan besarnya. Namun, tetap ada beberapa orang atau komunitas seperti B2W yang konsisten bersepeda untuk bekerja.
***
Sampai hari ini saya masih memilih sepeda sebagai moda transportasi utama karena paling praktis dan membantu menghemat pengeluaran bulanan. Selain itu, sepeda juga memudahkan saya mengakses tempat makan yang jika dengan berjalan cukup jauh, belanja bulanan, serta antar jemput londrian.
Keputusan membeli sepeda serta bersepeda adalah salah satu pilihan yang tidak akan saya sesali dalam hidup ini, khususnya di masa perantauan. Rasa tenang di jeda satu kayuh ke kayuhan lainnya juga seakan menjadi pemantik refleksi berulang di setiap pulang dari tempat kerja. Harapannya kebiasaan bersepeda ini terus bisa saya lakukan untuk menjadi lebih sehat dan juga mendorong lingkungan lebih asri tanpa polusi. Semoga dengan membaca ini kamu juga jadi tertarik bersepeda, dan bersama-sama kita bersepeda!
Referensi:
“Gaya Jengki” Wikipedia, 22 April 2024, https://id.wikipedia.org/wiki/Gaya_Jengki
Nandy, “Sejarah Penemu Sepeda dan Perkembangannya Di Indonesia” Gramedia, 22 April 2024, https://www.gramedia.com/literasi/penemu-sepeda/
Yosepha Pusparia, “ Olahraga Jadi Tren Baru di Masa Pandemi”, Katadata, 22 April 2024, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/olahraga-jadi-tren-baru-di-masa-pandemi
Yoga Sukmana, “Tren Gowes Surut, Penjualan Sepeda Ikut Menyusut”, Kompas.com, 22 April 2024,https://money.kompas.com/read/2023/10/09/172101426/tren-gowes-surut-penjualan-sepeda-ikut-menyusut.