Makhluk Apalagi itu Buruh Digital?

Mahluk Apalagi itu Buruh Digital?

Siapakah buruh digital?

Buruh digital adala pekerja atau buruh yang pekerjaan utamanya dimediasi atau memakai piranti, jejaring dan perangkat lunak digital (Juliawan, 2020). Pekerja atau buruh digital pertama kali muncul dalam literatur mengenai teori masyarakat informasi (information society theory atau IST), yakni ekonomi yang berpusat pada seluruh proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi dengan memakai teknologi digital. Dalam pengertian ini, buruh digital identik dengan pekerja di sektor informasi, pengetahuan dan kreatif (Juliawan, 2020).

Ketika anda berbelanja di salah satu toko online, katakanlah Bukalapak, melalui komputer atau handphone, anda dapat langsung berinteraksi dengan pihak toko. Buruh Bukalapak tersebut memang diupah untuk menjawab, menyarankan, mengarahkan, pembeli ataupun penjual dalam melakukan transaksi di bukalapak. Pekerjaan buruh tersebut dijembatani teknologi internet.

Mawar, 24 tahun, (bukan nama sebenarnya) yang sekarang telah bekerja di salah satu platform jual beli online yang berada di Yogyakarta, mengatakan bahwa dia bekerja dari pagi hingga sore, tapi tak jarang pekerjaan kantornya pun dibawa hingga ke kosan. “Kemaren aku ada yang transaksi jam 12 malam, itu capek banget aku ladenin,” kata mawar saat mengobrol dengan saya. 

Selain buruh toko online, ojek online juga sudah pasti termasuk dalam klaster buruh digital walaupun mereka sering disebut mitra. Namun, kejelasan posisi dalam undang-undang dan juga realitasnya lebih mendekati ke arah buruh yang tereksploitasi. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa pekerja ojek online merupakan buruh ketimbang dikatakan sebagai mitra oleh platform. 

Ada juga freelancer atau pekerja lepas. Berdurasi pendek, bersandar pada proyek dan tanpa ikatan. Hal ini tentu diminati oleh pemuda yang mengedepankan kebebasan dan menolak komitmen jangka panjang atau mungkin bukan “passion” mereka.

Bagaimana relasi kerjanya?

Pengalaman mawar, ojol, dan freelancer sebagai buruh digital memperlihatkan kita bagaimana sedikit kondisi kerja yang terjadi dalam industri modern hari ini. Benang merah dari ketiga pekerjaan ini merujuk pada fleksibilitas kerja. Ketika kerja sudah tidak mengenal ruang dan waktu. Kerja menjadi sesuatu yang melekat pada diri buruh tersebut.

Sebut saja mawar, sebagai tambahan, hampir semua buruh di tempat ia bekerja termasuk dirinya memakai vendor alias outsourcing. Itu artinya, selain waktu kerja yang fleksibel, hak dasar buruh tidak terpenuhi. Keselamatan dan kesehatan kerja yang menghantui tiap-tiap buruh digital yang seharian bekerja di depan komputer atau handphone. Kerja-kerja seperti mawar tentunya mengejar target. Sebagian besar dari buruh digital dalam platform jual beli online berumur 20 tahunan. Dengan kurangnya edukasi tentang perburuhan di lingkungan kerja, akan memperpanjang cerita eksploitatif yang terjadi dalam lingkungan kerja. Katakanlah, sebagian besar buruh digital belum mengetahui tentang berserikat sebagai wadah agar posisi tawar para buruh dapat dipertimbangkan sebagai satu kelas sosial. Relasi kerja yang tidak jelas ini akan membebani buruh digital di kemudian hari, bayang-bayang PHK, pesangon, dan jaminan-jaminan lainnya.

Tidak jauh berbeda, ojek online pun mengalami hal serupa bahkan lebih parah karena ketiadaan upah yang tetap dari penyedia kerja atau platform. Ojol hanya bergantung pada seberapa sering mereka mendapat pesanan. Apabila memenuhi target platform akan memberikan bonus tertentu. Relasi kerja antar ojol dan platform terlihat sangat timpang. Platform sebagai pemberi pekerjaan terlihat lepas tangan terhadap jaminan normatif pengemudi. Relasi kerja kemitraan yang diterapkan platform transportasi ini sangat tidak sesuai dengan realitanya, karena pengambilan keputusan berada pada otoritas platform tanpa melibatkan ojol sebagai mitra. Dalam beberapa kasus, driver ojol dirugikan dari kebijakan tersebut. Perlakuan platform yang hanya menggunakan driver sebagai sapi perah sangat disayangkan. Hal-hal ini belum termasuk kendala-kendala yang ditemui ojol di lapangan seperti pesanan fiktif, budek (istilah apabila server memblok user sehingga tidak mendapat pesanan apapun dalam suatu waktu), kecelakaan, kesalahan teknis pada aplikasi dan seterusnya. Boro-boro kita bicara soal upah layak, platform sendiri tidak mempunyai itikad baik, seperti pembentukan komunitas di bawah payung platform yang dijadikan alat pendisiplinan terhadap driver. Kerentanan ini tidak akan berubah sampai kelas-kelas buruh menuntut hak-haknya dan bersatu, berjuang bersama kelas tertindas lainnya.

Freelancer, kerja yang banyak diminati oleh anak muda sepertinya tidak seindah yang dibayangkan. Bekerja berdampingan dengan deadline, tanpa jaminan kesehatan, standar upah yang tidak jelas, menjadikan pekerjaan ini berada dalam kerentanan. Walaupun dikatakan mitra atau klien tapi relasi yang terjadi tidak jauh berbeda dengan relasi pada kerja-kerja konvensional. Freelancer bekerja dibawa tekanan pemberi kerja dengan deadline dan juga permintaan-permintaan tertentu. Di sisi lain, freelancer bekerja melebihi jam kerja buruh konvensional, tak memiliki jaminan kesehatan, upah yang tidak tetap, dan kerentanan lainnya. Relasi kemitraan ini bisa saja eufimisme yang dibangun dalam relasi kerja agar perusahaan atau si pemegang tender mendapatkan untung yang berlipat karena hak-hak buruh freelancer ini tidak masuk dalam akomodasinya.

Satu-satunya posisi tawar buruh adalah dengan serikat!

Klaster baru perburuhan yaitu buruh digital akan terus bertambah sehingga akan ada lebih banyak eksploitasi yang terjadi. Yang akan diuntungkan hanya elit-elit saja termasuk negara itu sendiri. Ditambah situasi politik saat ini dengan pemerintah yang akan mengesahkan RUU “Omnibusuk” Law bakal menambah beban buruh. Persatuan di segala sektor gerakan buruh, buruh tani, rakyat miskin kota dan elemen lainnya menjadi satu-satunya jalan untuk menjagal kebijakan yang pro investor tersebut. Posisi mahasiswa dan pelajar sebagai calon tenaga kerja tidak luput dari dampak omnibus law. Sudah seharusnya dan sewajarnya, gerbong mahasiswa dan pelajar menjadi salah satu kekuatan penolak yang paling tebal karena orang tua mereka juga akan terdampak hal ini yang akan mempengaruhi segala sektor kehidupan kita, maksud saya, KITA SEMUA.

 

Rerefensi:
Juliawan Hari, dkk. Buruh Digital: peluang, keuntungan, & intaian kerentanan. (Yogyakarta. Sanata Darma Press.2020)

 

Ditulis oleh: Yaumil Akhyr
Panggil aja Amigo. Saya orang yang jarang nulis sih, sesekali aja. Saya masih kuliah semester akhir bentar lagi pemutihan. Beberapa tulisan saya memang lekat dengan gerakan dan aktivisme. Cuma yah saya masih hitungannya baru dalam hal menulis. Oh iya saya kuliah di Universitas Mercubuana Yogyakarta. Saya orang Sulawesi Selatan. Salam kenal!

*) Tulisan ini merefleksikan pandangan pribadi penulis dan berada di luar editorial Pamflet

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content