Stop Victim Blaming Terhadap Pengguna Narkotika

Cover_Stop Victim Blaming Terhadap Pengguna Narkotika

Hayooo di sini pada up to date di sosial media gak? Tahu kan kalau beberapa waktu lalu, salah satu figur publik dikabarkan menggunakan narkotika. Di setiap media sosial netizen beramai-ramai mengomentari kasus ini. Sayangnya, reaksi netizen yang muncul justru menyudutkan tindakan figur publik tersebut. Nah, hal ini tidak hanya sekali terjadi. Sebetulnya dalam banyak kasus, pengguna narkotika sering disudutkan atas tindakannya. Ini menunjukan adanya stigma dan budaya victim blaming yang tumbuh di tengah masyarakat.

Parahnya, enggak cuma disudutkan lewat media sosial, bagi pengguna narkotika yang sekaligus publik figur juga harus berhadapan dengan pemberitaan media mainstream. Seringnya pemberitaan dari media mainstream justru lebih banyak mengungkap masalah personal dan privat dari publik figur terkait. Pada beberapa kasus publik figur, pemberitaan yang ada justru menambah banyak stigma dan victim blaming yang harus mereka hadapi.

Stigma

Perlu diketahui jika aturan yang ada nyatanya memang menempatkan pengguna narkotika sebagai ‘pelaku’. Bahkan dengan adanya istilah ‘penyalahguna’, ‘korban penyalahgunaan’, dan ‘pecandu’ dalam aturan yang ada saat ini semakin mengaburkan status mereka sebagai korban. Dampak adanya perbedaan istilah kepada pengguna narkotika tidak sederhana. Dampak negatif yang dihadapi mulai dari buruknya penanganan hukum dan medis, buruknya perlakuan aparat hukum dan petugas medis, hingga perlakuan masyarakat yang mengekslusi pengguna narkotika.

Aturan hukum yang diskriminatif, perlakuan aparat dan petugas medis yang buruk hingga ekslusi dari masyarakat terjadi karena adanya stigma negatif yang melekat erat dengan pengguna narkotika. Munculnya cap buruk sebagai kriminal, penyakit masyarakat, hingga orang yang pantas dipenjarakan membuat para pengguna merasa semakin terpojok. Hal ini semakin menyulitkan pengguna narkotika untuk meminta dukungan dan bantuan agar bisa terlepas dari ketergantungan yang dialami. Bahkan bagi pengguna narkotika yang telah mendapatkan rehabilitasi dan kembali ke masyarakat, sangat rentan mengalami penolakan dan diskriminasi.

Victim Blaming

Selain stigma, pengguna narkotika juga harus dihadapkan dengan adanya victim blaming. Jika selama ini budaya victim blaming atau sikap menyalahkan korban lebih banyak dibahas dalam kasus kekerasan seksual. Maka penting untuk juga membahas victim blaming dalam ranah narkotika. Kenyataannya selama ini pada hampir setiap kasus narkotika, pengguna narkotika yang sebetulnya termasuk korban sering mengalami victim blaming. Victim blaming tidak hanya sebatas tindakan seseorang yang menyalahkan, menghujat, menghakimi korban kejahatan. Lebih dari itu, victim blaming menganggap kejahatan terjadi karena tindakan korban dan korban dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan tersebut.

Pengguna narkotika sering disalahkan, dihujat, dan dinilai negatif atas tindakannya menggunakan narkotika.  Ungkapan bahwa adanya perdagangan gelap narkotika karena banyaknya permintaan dari pengguna, justru mengukuhkan pengguna narkotika sebagai korban yang patut disalahkan. Ungkapan ini jelas keliru. Munculnya perdagangan gelap narkotika disebabkan karena tidak adanya atau sulitnya akses untuk mendapatkan narkotika secara legal. Bila ditarik semakin jauh, maka ini terjadi karena label ilegal yang melekat pada narkotika. Keadaan ini pada akhirnya memaksa pengguna narkotika membeli narkotika dari pengedar.

Pada akhirnya stigma dan victim blaming ini kembali berakibat buruk bagi pengguna narkotika. Pengguna narkotika menjadi enggan dan takut untuk mendatangi layanan kesehatan dan rehabilitasi, memperburuk penghargaan terhadap diri sendiri, hingga masalah kesehatan mental lainnya. Anggapan jika treatment terhadap pengguna narkotika harus tanpa adanya obat-obatan jelas salah. Justru banyak treatment rehabilitasi narkotika yang membutuhkan adanya obat-obatan.

Rehabilitasi yang baik memungkinkan pengobatan yang sesuai dan cocok bagi pengguna narkotika. Petugas medis yang biasanya adalah psikiater yang meresepkan dan memantau pengobatan serta perawatan bagi pengguna narkotika. Tidak hanya perawatan secara medis, tetapi juga terapi perilaku diberikan untuk mencapai kemungkinan rehabilitasi yang sukses. Selain mampu mengurangi hasrat hingga mencegah keinginan untuk menggunakan narkotika, ada pula dampak baik rehabilitasi lainnya. Dampak pemberian obat-obatan bagi pengguna narkotika begitu besar bahkan bisa menyelamatkan nyawa dan memulihkan kondisi mental secara bersamaan.

Itulah alasan kenapa saat kita mendengar atau mengetahui ada seseorang yang menggunakan narkotika seharusnya kita membantu dan menolong mereka. Karena mereka harus menghadapi banyak hal, mulai dari ketergantungan terhadap obat-obatan, perlakuan diskriminatif, ekslusi, stigma, hingga victim blaming. Jangan sampai kita justru ikut menyudutkan tindakan mereka, karena hal itu justru akan membawa dampak yang makin buruk bagi kondisi mereka.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content