“We are done hiding. We are done being full of fear. This is the beginning of the end. From here, we fight.”
Demikian ungkapan protes dari Ryan Deitsch dalam aksi protes bertajuk “March For Our Lives” yang berlangsung pada 24 Maret 2018 di Washington, DC. Setidaknya terdapat sekitar delapan ratus ribu pelajar, guru, dan orang tua murid ikut serta dalam aksi ini. Selain itu, terdapat pula 800 aksi serupa berlangsung diberbagai daerah, termasuk di Los Angeles, Chicago, Miami, New York, London, Paris, Mauritius, Tokyo, Stockholm, Sydney, Geneva, Berlin, dan wilayah lain.
Aksi yang digagas oleh pelajar ini merupakan respon terhadap insiden penembakan massal yang menewaskan 17 orang di SMU Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida. Pelaku dari penembakan missal ini adalah Nikolas Cruz, anak muda berusia 19 tahun. Dalam aksinya, Cruz menggunakan senapan AR-15 yang dibeli secara sah menurut peraturan Amerika Serikat terkait kepemilikan senjata.
Amerika Serikat dan Penembakan Massal
Tragedi penembakan massal di Parkland bukanlah insiden pertama yang terjadi di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Pada 29 April 1999, terjadi pula penembakan massal di SMA Columbine di Colorado. Penembakan ini dilakukan oleh Eric Harris dan Dylan Klebold yang menewaskan 12 pelajar dan seorang guru, serta melukai 24 pelajar lain. Tragedi ini bahkan dianggap sebagai penembakan massal di sekolah yang paling banyak menelan korban.
Selain itu, dalam 20 tahun terakhir di Amerika, setidaknya terdapat 12 kasus penembakan massal di sekolah yang memakan korban jiwa. Mulai dari penembakan di Thomas Jefferson High School di Newyork pada 1992, hingga di Chardon High School di Ohio pada 2012. Dari sekian banyak insiden, kasus yang paling parah terjadi pada tahun 1927 di Bath Consolidated Schoolhouse, Michigan, saat seorang petani bernama Andrew Kehoe meledakan dua bom di sekolah, yang menewaskan 6 orang dewasa, 38 anak-anak, dan dirinya sendiri.
Penyalahgunaan senjata api memang merupakan kejahatan yang paling banyak memakan korban di Amerika Serikat. Menurut Tirto, merujuk pada laporan Gun Violence Archive, setidaknya terdapat 50 kasus penembakan massal pada tahun 2018, yang menewaskan 75 orang, serta melukai 205 orang lainnya. Bahkan pada tahun 2015 hingga 2017, terdapat 1.101 insiden penembakan massal, yang menewaskan 1.368 orang dan melukai 5.209 orang lainnya.
Selain itu, menurut laporan BBC, setidaknya pada tahun 2001 hingga 2011, penyalahgunaan senjata api menewaskan 11.385 orang, yang mana dalam periode yang sama setidaknya 517 orang setiap tahun terbunuh akibat aksi terorisme. Namun, jika tragedi 9/11 tidak dimasukan dalam hitungan, jumlah korban yang tewas hanya 31 orang saja setiap tahunnya.
Ironisnya, Amerika lebih memilih menghabiskan lebih dari triliunan dollar pertahun dalam upaya mempertahankan diri dari serangan terorisme. Padahal jika merujuk pada data yang ada, terror yang lebih mengerikan terjadi di dalam masyarakat Amerika sendiri yang leluasa memiliki senjata api sejak berusia 18 tahun.
March For Our Lives
“Not one more. We cannot allow one more child to be shot at school. We cannot allow one more teacher to make a choice to jump in front of a gun to save the lives of their students. We cannot allow one more family to wait for a call or text that never comes. Our children and teachers are dying. We must make it our top priority to save these lives.”
“This is not just about schools, though. This is about churches, nightclubs, concerts, movie theaters, airports—it’s everywhere. A child should not fear a bullet on their walk home. Although this movement has stemmed from children, we are not fighting for just children. All lives are precious, and our country must make the safety of its citizens a number one priority.”
Dua paragraph di atas merupakan manifesto dari March For Our Lives yang tertulis dalam website mereka. Kalimat yang sangat kuat untuk memperjuangkan hak seluruh masyarakat Amerika untuk hidup aman tanpa takut menjadi korban penyalahgunaan senjata api yang telah merenggut banyak korban jiwa.
John Cassidy, dalam tulisannya di New Yorker, membuat analisis yang terkait gerakan ini di Amerika. Meskipun Gedung Putih, Mejelis Kongres, dan sebagian besar badan pembuat undang-undang negara berada di bawah kendali Partai Republik, yang mendukung peraturan penggunaan senjata, namun ia melihat peluang keberhasilan untuk mendorong control ketat penggunaan senjata.
Pertama, aksi protes sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya, yang mana tidak hanya jumlahnya yang sangat besar, tapi persebarannya juga merata di seluruh Amerika. Selain, penggerak March For Our Lives juga mengalami secara langsung tragedy yang terjadi. Hal ini pada akhirnya, membuat pesan yang diberikan oleh mereka menjadi sangat mengena dan menjamin liputan media, baik nasional maupun internasional.
Hal ini ditambah kuatnya pesan yang disampaikan oleh para survivor dalam mimbar yang dibuat saat aksi protes. Seperti yang dilakukan oleh Emma Gonzalez, salah satu pelajar Parkland yang paling dikenal berkat aksi diamnya selama 6 menit 20 detik untuk melambangkan jumlah waktu yang dibutuhkan Nikola Cruz untuk melakukan 17 pembunuhan.
Ada juga Christopher Underwood, remaja berusia 17 tahun yang kehilangan saudaranya yang berusia 5 tahun karena tertembak. Christopher mengatakan: “I would like to not worry about dying. But worry about math and play basketball with my friends.”
Yolanda Renee King, cucu dari Martin Luther King Jr yang berusia 9 tahun, juga mengambil peran dalam aksi tersebut. Terinspirasi dari pidato kakeknya tentang mimpi untuk mengakhiri rasisme, Yolanda juga menyampaikan bahwa Ia memiliki mimpi, “I have a dream that enough is enough. And that this should be a gun free world, period.”
Selain itu, gerakan ini juga didukung oleh banyak public figure lintas generasi, seperti Miley Cyrus, Andra Day, Ariana Grande, Jennifer Hudson, Demi Lovato, Vic Mensa, Lin-Manuel Miranda, Ben Platt, dan juga Paul McCartney. Bahkan banyak juga yang memberikan sumbangan dalam jumlah besar, George dan Amal Clooney yang memberikan $ 500.000, Chrissy dan John Legend yang menjanjikan $ 25.000, serta beberapa public figure lainnya.
Mereka yang Menolak Berpangku Tangan
Tidak lama setelah aksi protes yang bersejarah tersebut, serta ratusan unjuk rasa di seluruh AS dan belahan dunia lain, pemerintah Amerika mulai mengambil langkah. Donald Trump menandatangani RUU yang mengatur pengalokasian anggaran sebesar $ 1,3 triliun untuk perbaikan pemeriksaan latar belakang bagi pembeli senjata, serta hibah untuk membantu sekolah mencegah penyalahgunaan senjata api untuk kekerasan.
Legislatif Negara Bagian Florida juga bertindak cepat, dengan meningkatkan batas usia pembeli senjata api, dari yang sebelumnya 18 tahun menjadi 21 tahun. Selain itu, perlu waktu tiga hari pula untuk proses pembelian, serta terdapat peningkatan anggaran untuk keselamatan sekolah dan untuk peningkatan kualitas kesehatan mental. Peraturan ini disahkan oleh Rick Scott, selaku Gubernur Florida.
Meskipun pemerintah merespon dengan cukup positif March For Our Lives, namun langkah-langkah ini dianggap belum cukup oleh para survivor. Hal ini disampaikan dengan sangat lantang oleh Delaney Tarr, “When you give us an inch, that bump stocks ban, we will take a mile. We are not here for breadcrumbs, we are here to lead.”
Kepemimpinan anak muda ini bahkan didukung oleh Barack Obama, yang dalam bercuit di twitter-nya: “Michelle and I are so inspired by all the young people who made today’s marches happen. Keep at it. You’re leading us forward.”