Privasi yang Dianggap Mainan

Cover_Privasi yang Dianggap Mainan

Bayangkan dalam sebuah panggilan video (video call), temanmu sudah bisa melihat wajahmu dan mendengar suara kamu padahal kamu belum terima panggilannya. Hal itulah yang terjadi Senin lalu, tepatnya tanggal 28 Januari 2019 pada pengguna iPhone. Melalui aplikasi bernama Facetime, gangguan akses video dan mikrofon terjadi yang memungkinkan kamu melihat wajah dan mendengar suara temanmu saat kamu melakukan panggilan video melalui Facetime, meski temanmu tidak mengangkat panggilan kamu. Ngeri ya?

Ironisnya, pelanggaran privasi ini terjadi pada Hari Privasi Data (Data Privacy Day) yang diinisiasi oleh Council of Europe tahun 2007, yang merupakan “kelanjutan” dari apa yang sudah dicapai tahun 1981. Pada tahun tersebut, dewan melegalkan Convention for the Protection of Individuals with regard to Automatic Processing of Personal Data (Konvensi Perlindungan Individu terhadap Proses Otomatis Data Personal). Sederhananya, peraturan yang melindungi data pribadi seseorang, di seantero Eropa, disahkan. Eropa memang menjadi benua yang maju untuk memperhatikan “kemaslahatan” umatnya, salah satunya untuk melindungi keamanan identitas orang di ranah digital. Hal ini kemudian memicu Amerika Serikat untuk mengambil langkah perlindungan yang sama dua tahun kemudian (yaitu tahun 2009). Negara-negara maju ini memang sangat perhatian terhadap perlindungan data pribadi, namun apa hubungannya dengan kita yang hidup di negara berkembang seperti Indonesia?

Tentu sebagai anak muda, meski sedikit stereotip, kita tidak dapat lepas dari gawai, mengakses segala rupa informasi dari Internet, baik melalui browser, ataupun media sosial. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia pun, kita juga tidak bisa begitu saja berserah pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah (sebut saja UU ITE), mempercayai fatamorgana bahwa keamanan digital kita sudah terlindungi dengan baik oleh “orang-orang itu”. Faktanya, undang-undang ini banyak disalahgunakan banyak pihak untuk memenjarakan orang lain dengan alasan yang terkadang tidak masuk akal. Contohnya, kritik pelayanan rumah sakit yang kurang baik dianggap sebagai pencemaran nama baik sehingga si pengkritik diadukan agar dipenjara. Ya, itu terjadi di Indonesia. Percayalah. Kita harus sadar bahwa sesungguhnya semua yang ada di muka bumi ini memiliki kekurangan, tiada yang sempurna, termasuk, dan perlu digaris-bawahi, UU ITE. Undang-undang ini tidak mengatur secara rinci terkait perlindungan data digital kita dan tidak terdapat perlakuan tegas dari penegak hukum bagi pihak yang menyalahgunakan data personal kita.

Nyatanya, mau tidak mau, kita lah yang harus mengambil tindakan preventif terhadap kemungkinan terburuk pelanggaran privasi ini. Jangan sampai data pribadi kita disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk keuntungan mereka sendiri. Mungkin banyak dari kita yang beranggapan, “ah sudahlah, gak penting juga data pribadi eike”. Ya memang, kamu lahir di mana, kamu tinggal di mana, nama ayah kamu siapa, tidak akan berguna bagi sebagian orang, termasuk saya sebagai penulis. Tapi apakah kamu mau menjawab pertanyaan semacam “kamu kalau berak duduk apa jongkok?” kepada orang yang tidak kamu kenal? Inilah ancaman yang terjadi. Kebiasaan kamu dalam mengakses informasi direkam oleh penyedia jasa (sebut saja pembuat aplikasi), tanpa izin penuh dari kamu (jujur saja, kamu pasti langsung mengiyakan saja pernyataan “I agree of all terms and condition”), dan digunakan (serta dijual) untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka. Untungnya bagi kamu? Tidak ada, kecuali kamu bisa memakai aplikasinya sesuka hati.

Lantas, mengapa hal tersebut merugikan kita? Sebut saja aplikasi travel yang menyediakan jasa pencarian tiket dan hotel. Kamu mau ke Bali dan tinggal di hotel bintang 4. Hanya membayangkan dan mencari kesempatan saja, tanpa memesannya lebih lanjut. Hingga di kemudian hari, kamu menggunakan browser yang sama dan tiba-tiba muncul iklan “hotel murah di bali” atau “tiket murah ke Bali” di tampilan browser-mu. Itu berarti, seseorang, atau sesuatu, mengakses informasi kamu sebelumnya, dan menjual informasi tersebut ke pihak lain untuk mengiklankan promosi pada kamu sesuai dengan informasi yang dicuri. Kalimat sederhananya, jika kamu jawab “saya berak duduk” kepada orang asing tadi, dia akan menawari kamu produk WC duduk yang mungkin kamu tertarik untuk beli. Perilaku kita semakin konsumtif dengan tawaran-tawaran tersebut (jika kita terbujuk), dan pihak lain akan mendapatkan keuntungan, lagi dan lagi.

Pencurian data seperti ini banyak terjadi dan dilakukan oleh penyedia aplikasi yang tidak memiliki komitmen untuk menjaga kerahasiaan data penggunanya. Kita pun banyak mudah terbujuk dengan jasa yang ditawarkan aplikasi tanpa mengetahui secara rinci apa konsekuensi yang timbul saat kita memberikan informasi sensitif tersebut. Persoalan menjadi lebih pelik ketika semua data pengguna (username, email, password, kebiasaan penggunaan aplikasi) yang disimpan oleh aplikasi dibajak dan dicuri oleh hacker, entah untuk tujuan apa. Sebut saja Zomato yang dibobol hacker dan kecolongan 17 juta data penggunanya tahun 2017 lalu (bagi kamu pengguna aplikasi ini, kamu bisa cek apakah data personal kamu ikut dicuri atau tidak melalui tautan berikut: https://monitor.firefox.com/). Jika kamu lagi-lagi berpikir “ah, data saya yang dicuri pun tidak penting”, silakan pikir ulang.

Tulisan ini mungkin belum memberikan informasi riil seputar perlindungan privasi kita saat mengakses segala hal dari Internet, atau menggunakan handphone, atau menggunakan laptop. Kamu akan temukan hal tersebut nanti sebagai lanjutan dari tulisan ini. Namun yang perlu kita perhatikan bersama adalah, sangat disayangkan, bahwa privasi di negara ini masih dianggap sebagai hal remeh temeh dan belum dianggap serius, baik oleh pribadi, maupun oleh pemerintah. Hanya segelintir orang saja yang menaruh perhatian terhadap perlindungan privasi mereka. Dan sayangnya lagi, bagi anak muda seperti kita yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah, privasi masih dianggap hal tidak penting karena kita dinilai sebagai orang yang “belum betul-betul mandiri”. Tulisan ini ingin menjelaskan pada kita semua, bahwa sudah saatnya kita pikir ulang untuk melindungi data digital kita. Dan pelanggaran privasi bisa membahayakan kehidupan kita, tidak hanya di Internet. Percayalah, ada pihak di luar sana yang memantau kita. #BlackMirror.

Bagi kamu yang ingin mempelajari lebih lanjut seputar keamanan digital, kamu bisa mengakses tautan berikut:

–       Perlindungan diri dan data di jejaring sosial: https://securityinabox.org/id/guide/social-networking/

–       Menggunakan ponsel seaman mungkin: https://securityinabox.org/id/guide/smartphones/

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content