Smart Pakem: Inovasi Pemerintah yang Tidak Smart

Cover_Smart Pakem Inovasi Pemerintah yang Tidak Smart

Di akhir tahun ini, pemerintah bukannya mengevaluasi praktik-praktik intoleran yang terjadi di Indonesia, malah membuat aplikasi yang semakin mengancam kebebasan masyarakat dalam memeluk kepercayaan. Aplikasi yang diberi nama Smart Pakem ini, bukan hanya tidak Smart tapi juga akan semakin meruncingkan praktik diskriminasi di Indonesia.

Aplikasi ini adalah inovasi yang dibuat oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta. Juru Bicara mereka mengatakan aplikasi ini bertujuan mengedukasi masyarakat mengenai  aliran kepercayaan dan keagamaan di Indonesia, serta yang masuk dalam daftar sesat pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meskipun begitu, aplikasi ini lebih terlihat hadir untuk mendiskriminasi daripada mengedukasi.

Padahal November tahun lalu, pemerintah telah memenangkan tuntutan kelompok penghayat kepercayaan untuk mengisi kolom agama di KTP dengan ‘Penghayat Kepercayaan’. Sekarang kemenangan tersebut terasa kosong belaka karena Smart Pakem malah seolah mengontrol apa yang boleh dianut oleh masyarakat.

Dan yang tidak kalah mencengangkan, aplikasi ini hanya menautkan fatwa-fatwa MUI sebagai pedoman salah satu fiturnya tanpa melibatkan lembaga keagamaan lain.

Dalam aplikasi Smart Pakem, Khusus di fitur keagamaan, kepercayaan, dan ormas, terdapat informasi mengenai daftar, nama pimpinan, wilayah, jumlah pengikut, dan penjelasan detailnya. Sementara untuk fitur laporan, tersedia lampiran berupa data diri pelapor dan subjek laporan. Namun, semua informasi yang ada tidaklah lengkap dan bisa mengedukasi masyarakat.

Bagaimana mau mengedukasi, jika semisal informasi mengenai Paguyuban Penghayat Kapribaden, ajaran singkat yang diinfokan hanya “Sujudan, sungkem, sarasehan, pembinaan warga”. Bukankah keempat ajaran itu adalah hal yang sangat umum di Indonesia?

Sebagai seorang Muslim, saya juga melakukan Sujudan ketika solat atau mengungkapkan rasa syukur. Saya juga melakukan Sungkem kepada orang tua ketika meminta maaf ataupun restu. Saya juga sering ikut Sarasehan dan Pembinaan Warga yang diadakan di daerah saya. Lalu hal baru apa yang saya bisa ketahui dari Smart Pakem itu terhadap penghayat kepercayaan?

Lembaga Studi Sosial dan Agama Jawa Tengah mengatakan bahwa sebelum Indonesia merdeka, terdapat 396 kepercayaan dan agama asli Nusantara. Namun, hingga saat ini setidaknya 60 aliran telah punah karena adanya desakan dari pemerintah dan kelompok tertentu yang tidak bisa menerima keberadaan penganut kepercayaan.

KontraS mencatat, sejak 2014 hingga 2018, setidaknya terdapat 488 peristiwa pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Peristiwa pelanggaran ini terjadi akibat kebijakan yang diskriminatif dan tidak tegasnya pemerintah menghadapi kelompok intoleran.

Bukannya melakukan evaluasi dari berbagai catatan tersebut, pemerintah malah membuka kesempatan kelompok intoleran, melalaui Smart Pakem, untuk terus melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

 

Referensi:

BBC Indonesia. 2018. Aplikasi Smart Pakem: Untuk Awasi Aliran Kepercayaan ‘Menyimpang’. Jakarta. Dapat diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46358219

Ign. L. Adhi Bhaskara. 2018. Aplikasi Smart Pakem dan Tren Memburuknya Kebebasan Beragama. Jakarta. Dapat diakses melalui https://tirto.id/aplikasi-smart-pakem-dan-tren-memburuknya-kebebasan-beragama-davP

Resty Woro Yanuar. 2018. With Indonesia’s ‘Heresy App’, Religious Harmony Hasn’t A Prayer. China. Dapat diakses melalui https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/2175677/indonesias-heresy-app-religious-harmony-hasnt-prayer

Adi Renaldi. 2018. Aplikasi Ponsel Kejaksaan Ancam Kebebasan Penganut Agama Lokal dan Penghayat. Jakarta. Dapat diakses melalui https://www.vice.com/id_id/article/ev3pvm/aplikasi-ponsel-kejaksaan-ancam-kebebasan-penganut-agama-lokal-dan-penghayat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content