Mengapa Hak Perempuan (Masih) Perlu Diperjuangkan?

Cover_Mengapa Hak Perempuan (Masih) Perlu Diperjuangkan

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu” QS Al Hujurat, 13

Perjuangan perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, terus menguat demi kesetaraan dengan kelompok laki-laki. Hal ini tentu terjadi bukan tanpa sebab. Layaknya perbedaan hadiah yang diterima sepasang kembar saat perayaan Natal, ketidakadilan ini juga tercermin pada apa yang seharusnya perempuan terima. Hanya karena statusnya sebagai “perempuan”, banyak hal yang tidak dapat diberikan pada perempuan karena hal tersebut “lebih pantas” diberikan pada laki-laki. Mungkin ini terdengar dibesar-besarkan. Tapi itulah yang terjadi. Bahkan ada kelompok di Indonesia yang menolak untuk menyetarakan hak antara perempuan dan laki-laki dengan dalih “perempuan harus dimuliakan, bukan disetarakan”. Terdengar sangat indah memang, mengangkat derajat perempuan agar “dimuliakan” dari kelompok lainnya. Tapi apa benar hal tersebut terjadi?

Perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya secara adil dimulai sejak dulu. Bayangkan saja, perempuan tidak memiliki hak untuk memberikan suara di pemilihan umum (voting) sampai akhir abad ke-19, di seluruh dunia. Negara pertama yang memberikan hak memilih pada perempuan adalah Selandia Baru pada tahun 1893. Pemerintah Selandia Baru mengizinkan perempuan untuk memilih di usia lebih dari 21 tahun.

Perjuangan perempuan mendapatkan hak politiknya bisa kita saksikan pada film “Suffragette” yang dirilis pada 2014 lalu. Film ini menceritakan perempuan yang menuntut hak untuk memilih di Inggris pada awal tahun 1900-an. Dominasi laki-laki dalam politik tentu menjadi hal yang dianggap wajar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di negara kita ini, kuota perempuan yang dibolehkan untuk duduk di parlemen baru mencapai 30%. Hal ini tentu perlu kita kritisi bersama karena, sangat lucu ketika menunjuk laki-laki agar dapat membuat peraturan yang terkait dengan perempuan, ya kan?

Dalam sejarahnya yang panjang dan penuh dengan tantangan, kelompok perempuan di berbagai negara menuntut haknya yang seharusnya setara dengan laki-laki. Bayangkan saja, banyak negara di dunia (termasuk negara Skandinavia) yang ternyata memberikan gaji yang lebih kecil pada perempuan dibanding laki-laki untuk pekerjaan dan beban kerja yang sama. Nggak adil kan?

Bukan hanya masalah gaji, namun jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perempuan pun sering dibatasi. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan pendapat banyak orang (termasuk perempuan sendiri) yang mengamini bahwa perempuan seharusnya bekerja di rumah saja untuk mengurus anak, memasak, mencuci, dan mengepel. Sungguh sangat disayangkan jika manusia yang memiliki daya juang dan daya pikir yang sama seperti laki-laki hanya diciptakan Tuhan untuk memiliki peran di lingkup yang sangat sempit seperti rumah.

Jika kita menilik kembali berbagai perjuangan perempuan di berbagai negara di dunia, tentu kita pasti akan menyadari bahwa keadaan dunia ini sedang tidak baik-baik saja, terutama ketidakadilan pada perempuan yang sepertinya selalu dianggap sebagai kelompok kelas dua. Lantas, apa saja perjuangan perempuan yang menarik untuk kita telusuri lebih lanjut?

  • Pada tahun 2012, kelompok garis keras Taliban menyerang seorang perempuan muda bernama Malala Yousafzai di Pakistan. Alasannya, karena perempuan seharusnya tidak bersekolah. Kelompok Taliban menyerang sekolah perempuan di Pakistan sejak tahun 2008 agar perempuan tidak mendapatkan pendidikan. Sejak saat itu, Malala menyuarakan protesnya melalui blog yang disampaikan pada BBC. Geram, Taliban menjadikan Malala sebagai target penyerangan, hingga hari ini.[1]
  • Tanggal 24 Oktober 2016 lalu, perempuan di Islandia menggelar aksi protes mogok kerja tepat pada pukul 14.38 dan berkumpul di Austurvollur Square bersama ribuan perempuan lainnya. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes pada pemerintah karena perempuan menerima gaji lebih rendah 14-18% dibanding laki-laki dengan beban kerja dan pekerjaan yang sama. Aksi serupa sebenarnya sudah dilangsungkan sejak tahun 1975 dengan menggelar aksi “libur” bersama di hari kerja, 2005 berhenti bekerja pada 14.08, dan 2008 berhenti bekerja pada 14.25.[2]
  • Di tahun 1973, Billie Jean King (petenis perempuan asal Amerika Serikat) memboikot US Open (pertandingan Grand Slam tennis di Amerika Serikat) karena memberikan hadiah uang dengan jumlah yang berbeda antara atlet perempuan dan laki-laki. Akhirnya, usaha King membuahkan hasil yang membuat US Open memberikan hadiah uang tunai yang sama antara atlet perempuan dan laki-laki.[3] Perjuangan yang sama dilakukan oleh Venus dan Serena Williams yang menuntut Wimbledon (pertandingan Grand Slam tennis di Inggris) dan French Open (pertandingan Grand Slam tennis di Prancis) pada tahun 2005.[4]
  • #MeToo menjadi kampanye digital yang (kembali) populer di media sosial sejak Oktober 2017. Aksi ini dilakukan oleh para perempuan penyintas kekerasan seksual, terutama di tempat kerja. Perjuangan perempuan penyintas kekerasan seksual ini akhirnya mencuat secara viral dan menyeret produser kenamaan Hollywood, Harvey Weinstein, ke pengadilan karena kasus kekerasan seksual yang ia lakukan kepada para aktris Hollywood. #MeToo menjadi satu semangat bagi para korban kekerasan seksual di berbagai belahan dunia untuk menceritakan kisahnya dan membangun kesadaran masyarakat bahwa pelaku kekerasan harus ditindak dan tidak diberi ruang.[5]
  • Serupa dengan aksi perempuan di Islandia, ribuan perempuan di Bern, Swiss, menggelar aksi mogok kerja pada 22 September 2018 karena adanya ketimpangan gaji perempuan dan laki-laki di sana. Perempuan mendapatkan gaji lebih rendah 7.4% dibanding laki-laki meski memiliki pekerjaan yang sama. Aksi ini semacam lanjutan aksi yang pernah dilakukan pada 1991 dan direncanakan akan digelar kembali pada 14 Juni 2019.[6]

 

Dari sejumlah cerita perjuangan perempuan tersebut, tentu seharusnya dapat memberikan gambaran pada kita bagaimana ketidakadilan masih ada terhadap kelompok perempuan. Ide “memuliakan” perempuan menjadi sebuah konsep yang jauh dari ideal karena, bagaimana bisa memuliakan jika adil saja tidak? Kesetaraan bagi perempuan dimaksudkan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, jaminan kesehatan, politik, dan lain sebagainya. Kesetaraan diusung berdasarkan konsep “adil”, yang di kitab agama manapun bukanlah perbuatan dosa atau melanggar norma.

Sangat aneh jika masih ada orang yang berpikiran bahwa perempuan wajar menerima gaji lebih sedikit dibanding laki-laki karena perempuan bukan pemimpin keluarga. Lantas, bagaimana dengan perempuan yang harus membesarkan anak tanpa suami? Lagi pula, bukan seperti itu profesionalisme bekerja. Dengan beban kerja yang sama, maka seharusnya siapapun mendapatkan upah yang setara, tanpa harus melihat identitas orang tersebut.

“Memuliakan” perempuan justru mungkin akan menimbulkan ketidakadilan baru bagi laki-laki. Meski hal ini terasa tidak mungkin, namun apabila maksud “memuliakan” perempuan adalah mengutamakan perempuan dalam segala aspek kehidupan (pendidikan, pekerjaan, politik, dan lain sebagainya), tentu laki-laki akan merasa tidak nyaman dan akan memunculkan aksi-aksi menuntut hak seperti yang sedang dilakukan oleh banyak kelompok perempuan saat ini. Jika arti “memuliakan” tidak seperti ini, lantas apa maksud “memuliakan” yang diusung oleh kelompok anti-kesetaraan tersebut ya? Ada yang tahu?

 

[1] Biography.com. (2014). Malala Yousafzai Biography. Diakses dari: https://www.biography.com/people/malala-yousafzai-21362253

[2] Charlotte England. (2016). Iceland women’s leave work at 2.38 to protest gender pay gap. Diakses dari: https://www.independent.co.uk/news/world/europe/iceland-women-protest-strike-gender-pay-gap-leave-work-early-a7378801.html

[3] Joshua Barajas. (2016). Equal pay for equal play. What the sport of tennis got right. https://www.pbs.org/newshour/economy/equal-pay-for-equal-play-what-the-sport-of-tennis-got-right

[4] Howard Fendrich. (2018). Venus, Serena Williams join Billie Jean King equal pay push. Diakses dari: https://www.usatoday.com/story/sports/tennis/2018/04/10/venus-serena-williams-join-billie-jean-king-equal-pay-push/33696109/

[5] Cat Lafuente. (2018). Who is the woman behind the #MeToo movement. Diakses dari: https://www.thelist.com/110186/woman-behind-metoo-movement/

[6] Darko Janjevic. (2018) Thousands march against gender pay inequality in Bern. https://www.dw.com/en/thousands-march-against-gender-pay-inequality-in-bern/a-45604109

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content