Aparat Yang Tanpa Kekerasan Adalah Aparat Yang Fiktif

Cover_Aparat Yang Tanpa Kekerasan Adalah Aparat Yang Fiktif

John Locke dalam bukunya yang telah menjadi klasik itu The Second Treaties of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” mengatakan bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak untuk hidup, kepemilikan dan kebebasan yang merupakan milik mereka sendiri dan tak dapat dicabut atau dipreteli oleh Negara. Menurut Locke ada yang namanya kontrak sosial antara rakyat dengan pemimpinnya. Kontrak sosial ini memuat perlindungan hak yang tidak dapat dicabut oleh Negara dan diserahkan kepada Negara. Akan tetapi menurut Locke apabila Negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat bebas menurunkan penguasa dan menggantinya dengan penguasa baru yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.[1]

Selain hak-hak yang disebutkan di atas oleh Locke. Setiap warga Negara juga mempunyai hak menyatakan protes kepada pemerintah dan hak agar tidak diperlakukan dengan cara kekerasan, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Hak-hak itu dijamin oleh konstitusi kita dan tertulis dalamnya. Nah, ini yang dimaksud Locke sebagai kontrak sosial. Namun, tampaknya tidak semua paham akan hak-hak warga negara tersebut, tak terkecuali aparat negara sendiri. Entah itu belum tahu atau memang tidak mau tahu.

Jadi begini, baru-baru ini ada kasus penggusuran rumah-rumah warga di daerah Tamansari Kota Bandung. Penggusuran tersebut diwarnai kericuhan antara warga dengan aparat. Beberapa video yang beredar dan pemberitaan di media massa memperlihatkan pemukulan oleh aparat Polisi dan TNI kepada warga dan kelompok solidaritas penggusuran. Video tersebut memperlihatkan seorang warga yang ditarik oleh TNI ke dalam kerumunan polisi. Kemudian apa yang dilakukan oleh polisi terhadap warga tersebut? Ya, polisi-polisi itu mengeroyoknya. (tempo.co)[2]

Kita hidup di sebuah negara yang idealnya melindungi setiap warganya dari kekerasan yang ditujukan kepada warga tersebut. Itu kewajiban Pemerintah dan aparat-aparatnya, untuk menjamin dan memberikan perlindungan kepada warganya. Namun, sebaliknya dalam kasus Tamansari dan banyak kasus-kasus lainnya di negeri ini. Justru kekerasan dilakukan oleh aparat pemerintah itu sendiri.

Penolakan warga Tamansari atas penggusuran merupakan bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah. Apakah tindakan warga Tamansari salah? Tentu saja tidak.

Gerakan protes yang dilakukan oleh warga Tamansari, sah-sah saja karena mereka menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah untuk mempertahankan apa yang diyakini sebagai haknya. Tidak ada yang salah dengan tindakan mereka. Bahkan itu dijamin oleh konstitusi.

Sedangkan pemerintah maupun aparatnya harus menjamin agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM di sini. Pemerintah menjadi subjek hukum utama dalam konteks HAM karena pemerintah menjadi entitas utama yang bertanggung jawab melindungi dan menegakkan HAM. Bukan malah bertindak sebaliknya. Sekalipun ada hal-hal yang mengharuskan aparat untuk melakukan upaya paksa terhadap warga yang melakukan protes tersebut, HAM harus tetap dijunjung tinggi.

Kalau kita melihat Pasal 24 Perkapolri 9/2008 dinyatakan bahwa dalam penerapan upaya paksa oleh aparat kepolisian terhadap warga yang menyampaikan protes harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif seperti tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, seperti misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul.[3]

Pasal 33 ayat (1) UU 39/1999 menjamin hak setiap orang untuk terbebas dari segala bentuk penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Aturan dalam UU ini seharusnya menjadi pedoman oleh kepolisian dalam penanganan protes massa di Tamansari.

Dalam SOP dan peraturan yang seharusnya menjadi pedoman aparat kepolisian itu jelas tercantum larangan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warga, dan kewajiban menghormati HAM atas setiap warga yang melakukan sikap protes atau unjuk rasa. Namun, tampaknya itu semua tidak berlaku pada tahap implementasi. Tidak hanya dalam kasus Tamansari, dalam kasus-kasus lain, aparat seperti biasanya berlaku brutal.

Penghargaan terhadap Kota Bandung sebagai kota peduli HAM yang pernah diberikan langsung oleh Direkur Jenderal HAM Kemenkumham RI kepada Wali Kota Bandung Oded M. Danial pada 10 Desember 2019,[4] tampak seperti lelucon bagi warga RT. 11 Tamansari. Penghargaan itu jelas salah alamat.

 

[1] John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964.

[2] Diakses di https://nasional.tempo.co/read/1283520/aji-bandung-polisi-halangi-wartawan-merekam-kerusuhan-tamansari/full&view=ok pada tanggal 19 Desember 2019.

[3] Hukumonline.com, diakses di https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4972/polisi-yang-memukul-demonstran/ pada tanggal 22 Desember 2019.

[4]  Humas.bandung.go.id, diakses di http://humas.bandung.go.id/humas/layanan/2018-12-12/kota-bandung-terima-penghargaan-kota-peduli-ham pada tanggal 22 Desember 2019.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content