Gerakan Prodemokrasi Tiananmen Square 1989

Cover_Prodemokrasi Tiananmen Square 1989

Pada bulan April 1989, cendekiawan dan pelajar di Cina melakukan demonstrasi besar-besaran pertama sejak Partai Komunis Cina berkuasa. Demonstrasi ini berujung pada tragedi pembantaian pada tanggal 4 Mei. Meskipun begitu, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari aksi protes di Beijing ini.

Gerakan Prodemokrasi Tiananmen Square 1989
© Jeff Widener

 

Pada tanggal 15 April, 31 tahun yang lalu di Beijing, seorang bernama Hu Yaobang meninggal dunia. Tidak ada yang mengira kematiannya akan menjadi pemicu protes terbesar pertama sejak Partai Komunis Cina (PKC) berkuasa di tahun 1949. Hu Yaobang adalah seorang mantan Sekretaris Jenderal PKC. Dua tahun sebelumnya, pada Januari 1987, ia diberhentikan dari jabatannya karena sikapnya yang cukup lunak dalam menanggapi aksi-aksi protes mahasiswa. Sebagai satu-satunya pejabat tinggi partai yang dianggap terbuka untuk reformasi politik, kematiannya memberikan rasa duka besar di kalangan pelajar dan cendekiawan.

Sebagai ungkapan rasa duka, mahasiswa pun berdatangan ke Lapangan Tiananmen untuk meletakkan karangan bunga. Namun, mereka tidak hanya ingin menunjukkan rasa duka untuk Hu, melainkan juga hendak menunjukkan sikap protes kepada pemerintah Cina yang sangat anti reformasi politik. Berkumpul di Lapangan Tiananmen memberikan makna lebih dari sekadar berdemonstrasi. Lokasi ini merupakan pusat kota yang juga menjadi simbol perwujudan politik komunis Cina. Di lapangan inilah, Mao Zedong memproklamasikan pendirian Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 1949. Dengan melakukan protes di sini, mahasiswa hendak menantang pemerintah komunis Cina tepat di lokasi di mana ia dimulai.

Pada tanggal 16 April, setidaknya ada 2.000 mahasiswa yang memadati lapangan. Secara spontan, momentum ini berubah menjadi demonstrasi prodemokrasi. Pamflet mulai disebarkan, berisi kritik terhadap rezim PKC. 

Keesokan harinya, sebanyak 2.000 mahasiswa dari Beijing University melakukan mars menuju lapangan. Pada hari kedua ini, mereka sudah memiliki beberapa poin tuntutan yaitu kebebasan pers, kebebasan berserikat, reformasi politik, dan menentang korupsi.

Pada tanggal 18 April, mahasiswa Beijing University membentuk organisasi mahasiswa otonom. Pembentukan badan mahasiswa seperti ini kemudian diikuti oleh mahasiswa se-Beijing, yang kemudian dinamai Federasi Otonom Mahasiswa Beijing. Beberapa universitas lain pun mulai mengikuti pembentukan serikat.

Demonstrasi ini bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh mahasiswa. Namun, protes kali ini memberikan makna yang lebih daripada protes biasanya. Mahasiswa membentuk badan otonom dan menuntut pemerintah untuk melakukan dialog untuk membahas tuntutan yang telah mereka teriakkan. Bagi PKC, ini adalah sebuah gestur yang menantang monopoli mutlak partai dan pemerintahan. Sebagai balasan, pemerintah mengeluarkan larangan bagi mahasiswa untuk berdemonstrasi di hari pemakanan Hu Yaobang.

Larangan ini justru membuat semakin banyak orang yang datang dan bergabung ke dalam massa. Tanggal 21 malam, terdapat kurang lebih 50.000 mahasiswa yang datang dan mengokupasi lapangan Tiananmen hingga keesokan hari. 

Pada hari pemakaman Hu, 22 April, mereka bahkan melakukan orasi menuntut pertemuan langsung dengan Perdana Menteri Li Peng. Ajakan untuk berdialog ini ditolak oleh pemerintah, yang mendorong beberapa pemimpin mahasiswa menyerukan ajakan mogok pelajar secara menyeluruh pada tanggal 24 April.

Semakin besarnya skala demonstrasi mendorong pemerintah untuk mencari cara menghentikan gelombang protes. Melalui editorial koran People’s Daily, pemerintah menyebut bahwa ada beberapa kelompok pelajar yang sedang menjalankan konspirasi terencana dan ingin menimbulkan kekacauan sosial. Marah dengan pemerintah yang tidak menanggapi tuntutan, ratusan ribu pelajar dan juga warga sipil bergabung dalam okupasi. Banyaknya orang yang turut dalam protes, membuat ini menjadi protes terbesar pertama yang pernah terjadi selama masa kekuasaan PKC.

April berganti Mei, mahasiswa masih terus melanjutkan protes dan pemerintah tidak juga menunjukkan keinginan untuk menanggapi tuntutan mereka. Pada tanggal 10 Mei, sebanyak 10.000 orang mendatangi Lapangan Tiananmen dengan bersepeda. 

Angka ini terus meningkat, pada saat Mikhail Gorbachev, Presiden Uni Soviet pada saat itu hendak melakukan kunjungan kenegaraan pada tanggal 13 Mei. Kunjungan ini dijadikan momentum oleh mahasiswa untuk menyampaikan tuntutan mereka kepada media internasional. Sebanyak 3.000 orang melakukan aksi mogok makan untuk menunjukkan buruknya sistem pemerintahan Cina kepada dunia internasional saat itu. Kedatangan Gorbachev ini juga dimaknai sebagai momentum untuk menunjukkan solidaritas kepada gerakan prodemokrasi yang juga masih berlangsung di negara-negara Blok Timur. 

Dengan meningkatnya skala demonstrasi secara besar-besaran, pada tanggal 19 Mei PM Li akhirnya bersedia menemui mahasiswa. Namun, negosiasi tidak berujung pada kesepakatan bersama. Mahasiswa tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk meminta pemerintah memenuhi tuntutan, sementara Li Peng datang bukan untuk membahas tuntutan melainkan hanya untuk meminta agar mahasiswa membubarkan diri. Buntunya negosiasi ini kemudian berujung pada PM Li mengumumkan darurat militer. Pemerintah memperingatkan agar massa segera membubarkan diri sebelum mereka mengerahkan militer bersenjata.

Peringatan tersebut menjadi kenyataan pada tanggal 20 Mei saat 100.000 pasukan militer dikirimkan ke Tiananmen. Namun, banyaknya massa ternyata mampu menghadang pasukan memasuki lapangan. Pada saat ini, para mahasiswa sudah mulai terpecah antara tetap melanjutkan okupasi atau berhenti sebelum terjadi pembantaian oleh militer. Perpecahan ini membuat mereka menjadi sulit merumuskan strategi bersama dengan efektif. Meskipun begitu, protes masih terus berlanjut hingga bulan Juni.

Protes yang sudah berlangsung hingga lebih dari sebulan ini membuat pemerintah merasa tidak lagi memiliki pilihan selain menggunakan cara kekerasan. Pada 3 Juni, sebanyak 30.000 pasukan tidak bersenjata dikirim untuk membubarkan massa. Namun, massa membentuk barikade dan rantai manusia yang mampu menghalangi pasukan. Merasa bahwa mereka tidak akan menghadapi risiko yang lebih berbahaya daripada pasukan tentara, mahasiswa terus melanjutkan protes hingga keesokan harinya.

Tanggal 4 April berujung pada pembantaian massal, setelah pemerintah mengirimkan pasukan bersenjata beserta tank untuk menembus barisan massa. Mereka menembakkan peluru dari senapan dan juga tank. Kini, tanggal 4 April menjadi hari peringatan Pembantaian Tiananmen (Tiananmen Square Massacre).  Perhitungan jumlah korban jiwa berbeda-beda dari pemerintah yang mengklaim 300 nyawa, hingga media yang memperkirakan hingga 10.000 lebih nyawa. Sejak pembantaian itu, para mahasiswa yang berhasil menyelamatkan diri bersembunyi atau melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari pemerintah Cina.  

Mengapa muncul dan mengapa gagal?

Protes mahasiswa bukanlah hal baru di China tahun 1980-an. Berbagai protes telah muncul beberapa kali menuntut keterbukaan dan reformasi politik. Dalam konteks politik yang lebih luas, kemunculan gelombang protes Tiananmen ini adalah hasil dari ketidakstabilan akibat Revolusi Budaya a la Mao Zedong. Setelah kekuasaan Mao Zedong berakhir, pemerintahan di bawah Deng Xiaoping berusaha mengembalikan kekuatan ekonomi Cina dengan cara menciptakan sistem pasar yang lebih terbuka. Keterbukaan parsial ini menumbuhkan keinginan di kalangan cendekiawan dan pelajar untuk menciptakan sistem politik yang juga lebih terbuka. Mereka yang telah merasakan perbedaan sistem politik di luar negeri menginginkan adanya reformasi politik di pemerintahan Cina. Di dalam negeri, hak-hak dasar para pelajar bahkan tidak terpenuhi. Selain melarang perbedaan pendapat, pemerintah memiliki kuasa untuk menetapkan di mana para pelajar ini akan bekerja dan tinggal.

Selain itu, kemunculan protes ini juga didorong gelombang demokratisasi tahun 1980-an. Saat itu, cendekiawan Cina telah mendengar kabar mengenai demonstrasi pekerja di Polandia yang berhasil mencapai tuntutan mereka. Gelombang ini diikuti oleh beberapa negara Blok Kiri lainnya, hingga kemudian diikuti oleh Cina.

Hingga kini, ada banyak argumen yang menjelaskan tentang penyebab kegagalan Demonstrasi Tiananmen 1989. Kurt Schock (2005) mengatakan ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari protes pelajar ini. Pertama, demonstrasi ini muncul sebagai respon spontan mahasiswa tanpa ikatan maupun jaringan akar rumput yang cukup kuat. Di tengah protes, mahasiswa beberapa kali mengalami perpecahan antara organisasi yang satu dengan yang lain. Berbagai organisasi otonom ini pun baru muncul setelah protes sudah dimulai. Kedua, meskipun berhasil mengumpulkan massa begitu banyak, gerakan ini belum cukup melibatkan lapisan masyarakat lain seperti petani dan buruh. Hal ini menyebabkan kurangnya daya tawar mahasiswa di depan pemerintah meskipun mereka sudah melakukan mogok, karena tidak begitu mempengaruhi kondisi ekonomi maupun politik.

Klik Tiananmen Square untuk membaca tulisan Pamflet lainnya. 

 

Referensi

Ackerman, Peter and Jack Duval. A Force More Powerful: A Century of Non-Violent Conflict. New York: Palgrave, 2000.
Schock, Kurt. Unarmed Insurrections: People Power Movements in Nondemocracies. Minneapolis: University of Minnesota Press, 2005. pp 98-119.
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content