Tantangan bagi Partisipasi Anak Muda yang Bermakna

Ketika membicarakan inklusi, kita sering luput akan posisi anak muda sebagai kelompok yang juga rentan akan eksklusi sosial di ranah kerja, komunitas sipil, keluarga, dan lainnya. Dari berbagai ketidakadilan sistemik yang mengakar di masyarakat, ageism atau diskriminasi berdasarkan usia menjadi salah satu penghalang akan terwujudnya inklusi. 

Di Indonesia, khususnya, budaya kekeluargaan yang kental dengan ageism mengharuskan anak muda untuk patuh dan hormat kepada siapapun yang lebih tua. Walaupun seharusnya bekerja sebagai anggota suatu tim yang setara, misalnya, orang yang lebih tua tetap harus dianggap lebih ‘senior’ dan diberikan kendali lebih dalam proses-proses pengambilan keputusan. 

Alhasil, alih-alih menjadi sesuatu yang bermakna, partisipasi dari anak muda kerap menjadi semu belaka ataupun sama sekali tidak ada. Kerentanan anak muda dalam partisipasi ini bisa ditelusuri kehadirannya melalui beberapa isu eksklusi, yaitu  stigma, manipulasi dan tokenisme dalam kesempatan berpartisipasi, dan kerentanan finansial.

“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Kamu mungkin pernah mendengar kutipan ini, bukan? Sayangnya, persepsi yang tertanam di benak banyak orang sangat berbeda dengan kutipan yang disampaikan Soekarno di salah satu pidatonya ini. Stigma yang sering dilekatkan kepada anak muda melabeli anak muda sebagai manusia labil, tidak mapan, apatis, tidak punya komitmen, atau tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atas isu-isu tertentu karena masih membutuhkan pengetahuan dan pengalaman lebih. Ibaratnya, anak muda dicap sebagai manusia yang belum berkembang seutuhnya, sehingga selalu butuh pengarahan dari orang yang lebih tua dan tidak bisa dipercaya untuk mengambil keputusan sendiri. 

Di sisi lain, ketika anak muda diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sebuah program dan organisasi, partisipasi ini cenderung menjadi tidak bermakna karena maraknya praktik-praktik seperti manipulasi dan tokenisme. Manipulasi terjadi ketika identitas dan aspirasi yang berasal dari partisipasi anak muda dipergunakan untuk generasi yang lebih tua dalam mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, partisipasi anak muda sejak awal tidak berpengaruh terhadap penentuan tujuan ini dan hanya dimanfaatkan untuk proses mencapainya. 

Tokenisme juga kerap terjadi ketika anak muda diundang untuk berpartisipasi secara semu. Alih-alih untuk menampung suara dan pengetahuan anak muda, partisipasi dalam praktik tokenisme hanya berhenti di titik pengadaan keterwakilan semu saja. Ini merupakan praktik yang sering ditemukan di dalam upaya-upaya inklusi melalui penghadiran aktor yang ‘beragam’ dan mewakili berbagai kelompok minoritas, tanpa tujuan untuk benar-benar mewadahi partisipasi kelompok tersebut.

Di luar dari stigma, manipulasi dan tokenism, kerentanan anak muda diperburuk dengan adanya kerentanan di ranah finansial. Kerentanan finansial cenderung tidak bisa dihindari karena anak muda merupakan kelompok yang belum produktif dan independen secara ekonomi. Kondisi ini menjadi semakin berat dengan adanya resiko pengangguran yang disebabkan pengadaan layanan sosial ekonomi secara tidak merata bagi seluruh anak muda. Hal ini mempengaruhi akses anak muda terhadap partisipasi yang bermakna, di mana setiap partisipasi seringkali menghadapi hambatan ekonomi ataupun ketiadaan akses untuk belajar dan bekerja.

Kerentanan ini berpengaruh, misalnya, ketika kamu menemukan suatu kesempatan untuk berpartisipasi dalam program organisasi nirlaba tentang pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Walaupun ini sangat relevan bagimu sebagai anak muda yang peduli dengan tumpukan sampah di tempatmu tinggal, ternyata kamu tidak bisa berpartisipasi karena program tersebut bertabrakan dengan jadwal kerja sambilanmu di malam hari yang membantu memenuhi kebutuhan finansialmu sembari kuliah. Akhirnya, program tersebut selesai tanpa membawa perubahan yang kamu bayangkan. 

Sampai di sini, mungkin kamu merasa pernah mengalami beberapa wujud dari kerentanan anak muda yang sudah dipaparkan. Yang bisa kamu lakukan adalah memahami isu-isu ini sebagai tantangan nyata yang menghambat partisipasi anak muda yang bermakna dan menyadari kehadirannya di lingkungan sekitarmu. Jika kita benar-benar ingin mewujudkan inklusi sosial demi terwujudnya perubahan yang berarti bagi semua kelompok, berbagai isu partisipasi perlu kita tanggapi satu per satu, termasuk isu eksklusi anak muda.

 

Referensi:
Tim Pamflet Generasi. (2021). Guideline Memahami Inklusi Sosial. Jakarta: Perkumpulan Pamflet Generasi.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content