Melihat Cinta di Tengah Holocaust melalui Jojo Rabbit

WhatsApp Image 2022-01-27 at 3.04.37 PM

Peringatan: Mengandung spoiler atau bocoran dari film Jojo Rabbit.

“There’s no time for romance. We’re at war.” 

“Oh. There’s always time for romance.”

“Love is the strongest thing in the world!” 

Kendati menjadi film yang segar karena melihat fasisme melalui kehidupan seorang anak, yang tak kalah menarik dalam Jojo Rabbit adalah tokoh pendukung Rosie Betzler. Adalah Rosie, ibu tunggal Jojo, yang menyerukan cinta sebagai hal terkuat di dunia–bahkan di tengah situasi perang yang udaranya dibuat sesak oleh kebencian. 

Rilis pada akhir tahun 2019, film Jojo Rabbit berpusat pada Jojo yang tinggal di Jerman menjelang akhir Perang Dunia II bersama ibunya–Rosie, seorang anak perempuan Yahudi yang bersuaka di rumahnya–Elsa, dan seorang teman imajiner–Adolf Hitler. Premis utama dari karya satir oleh sutradara Taika Waititi ini menjadi begitu sederhana: Apa yang terjadi ketika Jojo bertemu dengan seorang perempuan Yahudi yang disembunyikan oleh ibunya di tengah genosida anti-Yahudi yang begitu ia imani? 

Pertemuan Jojo dan Elsa bisa terjadi karena Rosie. Seorang ibu yang suaminya hilang dalam perang dan anak perempuannya meninggal karena wabah influenza tersebut memiliki kehidupan ganda. Di keramaian, ia adalah seorang ibu tunggal biasa. Dalam diam, ia adalah seorang pembelot–bagian dari pemberontakan rezim Nazi. Elsa yang sebelumnya hidup berpindah-pindah, disembunyikan dari satu rumah kerabat ke lainnya, tidak harus berpindah lagi ketika Rosie menemukannya dan membuatnya tinggal di rumah Rosie secara diam-diam. Tinggal di balik dinding kamar mendiang kakak perempuan Jojo, lebih tepatnya. 

Sementara itu, Johannes “Jojo” Betzler, anak laki-laki berusia sepuluh tahun, digambarkan sebagai seorang yang mempunyai fanatisme mendalam untuk Nazi. Kamarnya penuh dengan dekorasi Swastika. Beragam percakapan privatnya diiringi oleh teman imajinernya, sosok Adolf Hitler, yang kerap bertingkah eksentrik dan selalu ingin dipuja. Cita-citanya tidak lain adalah menjadi tentara kepercayaan sang ​​Führer–istilah berartikan pemimpin yang disematkan kepada sang diktator Nazi. 

Di tengah ribuan ketidakpastian di hidup Rosie, ia secara otomatis meyakini sebuah kepastian: Pertemuan antara Jojo dan Elsa adalah sebuah resep malapetaka! Maka, itu tidak boleh terjadi.

Namun, pertemuan itu terjadi. Dinding-dinding rumah yang menyerupai palet warna bangunan di film-film Wes Anderson tersebut tidak cukup luas untuk memisahkan si bocah pecinta sang ​​Führer dan gadis yang dikisahkan sebagai hewan bertanduk dalam kulit manusia.

Jojo kemudian memutuskan untuk tetap menemui Elsa tanpa sepengetahuan Rosie. Di titik inilah sejumlah interaksi antar-tokoh dan proses refleksi Jojo menjadi sangat memikat untuk diamati. Ada tarik ulur antara doktrin Nazi dan realita yang Jojo hadapi di depan matanya. Ada proses runtuhnya dikotomi ‘aku vs. mereka’ yang berkembang secara subtil. Sosok Elsa sebagai the Other atau yang Liyan pun perlahan bermetamorfosis seiring dengan ragam ekspresi yang hadir dalam interaksinya dengan Jojo. Dan, dalam segala ‘tarian’ menegangkan tersebut, Rosie hadir sebagai seorang kekasih yang melembutkan hati Jojo juga Elsa. 

Selain menyoal cinta, latar dari Jojo Rabbit tentu tidak bisa lepas dari peristiwa Holocaust. Setidaknya enam juta orang Yahudi di seluruh Eropa menjadi korban dari pembantaian sistematis tersebut pada tahun 1941-1945. Dalam Hari Peringatan Holocaust Sedunia yang jatuh pada 27 Januari, masyarakat global diharapkan untuk memperingati para korban dan mengemban semangat untuk mencegah genosida lainnya. 

Apakah menurutmu cinta kasih untuk sesama manusia bisa menjadi salah satu jalan untuk mencegah genosida? Atau untuk menghadapi penindasan, polarisasi, serta ketidakadilan di sekitar kita? Sebelum memikirkan jawabannya, sila tonton Jojo Rabbit!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content