Peristiwa Wasior Berdarah dan Rantai Kekerasan di Papua

desain oleh Ruray/pamflet

Tanggal ke-13 di bulan Juni merupakan hari berduka bagi keluarga korban Peristiwa Wasior Berdarah. Peristiwa Wasior Berdarah menyaksikan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga Desa Wonoboi, Wasior, Papua pada tahun 2001. Bermula dari terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu warga sipil di perusahaan PT Vatika Papuana Perkasa, warga sipil menyaksikan pencarian pelaku secara semena-mena oleh pasukan polisi yang meliputi pelanggaran HAM berat berupa penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan di luar hukum. 

Pelanggaran HAM berat ini seharusnya diselesaikan secara hukum dan keluarga korban wajib diberikan keadilan. Meski begitu, hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diberikan kepada Jaksa Agung pada 2003 sampai sekarang belum membuahkan hasil. Dengan sejumlah pingpong antara Jaksa Agung dan Komnas HAM, berkas hasil penyelidikan yang dinyatakan belum melengkapi persyaratan formil dan materiil kini berada di tangan Komnas HAM sejak 2016. 

Apa yang terjadi dalam Wasior Berdarah dan bagaimana negara menindaklanjutinya menunjukkan pola yang berulang di Papua. Artikel ini mengunjungi kembali peristiwa Wasior Berdarah untuk melihat bagaimana Papua sedang tidak baik-baik saja sedari dulu. 

Rantai Kekerasan di Papua 

Jika ditarik mundur, kericuhan yang terjadi di perusahaan kayu PT VPP berakar pada penindasan terhadap warga setempat. PT VPP sebelumnya telah melakukan kesepakatan terkait pembayaran saat pengapalan kayu sebagai ganti rugi hak ulayat1 masyarakat adat. Ketika PT VPP dianggap mengingkari kesepakatan, warga yang sebelumnya sudah memberikan toleransi waktu akhirnya memilih untuk melakukan aksi menahan speedboat perusahaan sebagai jaminan. 

Alih-alih memenuhi kesepakatan atau membuka ruang dialog, pihak perusahaan mendatangkan pasukan Brimob untuk melakukan tekanan dan intimidasi. Hal ini tidak diterima oleh kelompok sipil bersenjata, sehingga terjadi penyerangan terhadap perusahaan yang berakibat pada tewasnya lima anggota Brimob dan satu karyawan perusahaan. Selain penyerangan yang terjadi, kelompok bersenjata juga membawa enam pucuk senjata kepunyaan anggota Brimob yang tewas. 

Aparat kepolisian kemudian diturunkan untuk mencari pelaku penyerangan. Pada titik inilah terjadi sejumlah tindak kekerasan terhadap warga sipil Desa Wonoboi, Wasior. Warga biasa yang tidak ada sangkut-pautnya dengan penyerangan yang terjadi harus menerima begitu saja teror yang berlangsung kala itu.  Empat orang tewas, lima orang dihilangkan, satu orang diperkosa dan 39 orang disiksa. 

Wasior Berdarah bukanlah satu-satunya. Ia adalah satu dari daftar panjang peristiwa ‘berdarah’ di Papua. Pada Juli 1998, terjadi Biak Berdarah yang menyaksikan bagaimana aksi damai memperjuangkan referendum dijawab dengan pembantaian oleh aparat militer. Delapan orang tewas, tiga hilang, 37 orang terluka berat dan ringan, dan 50 orang ditahan sewenang-wenang. Dalam memperingati 20 tahun Biak Berdarah, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara bahkan mengutarakan bahwa dalam kasus ini terdapat “banyak perempuan diperkosa, perempuan-perempuan hamil dibunuh, perutnya disobek bahkan bayinya dikeluarkan.” 

Pada April 2003, terjadi Peristiwa Wamena. Warga sipil tengah merayakan Hari Raya Paskah ketika penyisiran 25 kampung di Wamena yang dipicu oleh pembobolan gudang senjata Markas Kodim dan penyerangan yang menewaskan dua anggota Kodim. Penyisiran oleh aparat TNI-Polri mengakibatkan sembilan orang tewas, 38 orang terluka berat, dan 42 orang yang tewas karena kelaparan selama pemindahan. 

Pada Desember 2014, terjadi Kasus Paniai. Anggota TNI mengeroyok tiga remaja di Paniai. Ketika warga beramai-ramai meminta pertanggungjawaban, aparat TNI-Polri melakukan penembakan yang menewaskan empat orang di tempat dan 21 orang terluka. Satu orang yang dibawa ke rumah sakit meninggal dalam perawatan. Kelima warga Paniai yang tewas adalah remaja. 

Selain keempat kasus ini, masih banyak pelanggaran HAM yang ‘berdarah’ di Papua. Salah satu implikasi genting dari deretan peristiwa berdarah di Papua adalah pemindahan paksa. Warga sipil yang merupakan Orang Asli Papua (OAP) harus berpindah dari rumahnya dan menjadi pengungsi akibat dari eskalasi kekerasan di berbagai lokasi di Papua yang menjadikan rumah mereka daerah konflik yang tak lagi aman. 

Dengan tinggal di tempat penampungan, rumah kerabat, dan di hutan; OAP yang mengungsi harus merelakan akses terhadap makanan yang bergizi, fasilitas kesehatan, sekolah, dan hidup berdampingan dengan iklim ekstrim. Sementara, pengiriman bantuan bagi OAP pengungsi oleh berbagai lembaga bantuan kemanusiaan seperti Palang Merah kerap dihalangi. Pekerja gereja yang ingin membantu pun beberapa kali dicegah oleh petugas keamanan untuk mengunjungi pengungsi. 

Menagih Janji Negara

Tanggal ke-13 di bulan Juni memang merupakan hari berduka bagi keluarga korban Wasior Berdarah. Namun, tanggal ke-13 di bulan Juni ini juga merupakan hari untuk marah dan menagih keadilan. Kekerasan masa lalu yang tak kunjung diselesaikan melanggengkan budaya impunitas–pembebasan pelaku dari hukuman atas pelanggaran HAM. Terlebih, melihat panjangnya daftar pelanggaran HAM di Papua sejak dulu, impunitas dan ketiadaan keadilan membuka pintu lebar bagi kekerasan terhadap OAP untuk terus berulang. 

Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ada dua hal yang wajib ditindaklanjuti: 1) presiden dan Mahkamah Agung harus segera membentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah, dan 2) Kejaksaan Agung mengambil berkas Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah dari Komnas HAM RI dan menindaklanjutinya. Tuntutan ini disuarakan setiap tahunnya oleh KontraS, YLBHI, dan organisasi masyarakat sipil lainnya. 

Pada Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB di Jenewa, 3 Mei 2017, pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa Kejaksaan Agung tengah mempersiapkan pengadilan untuk kasus Wasior-Wamena di Pengadilan HAM Makassar. Walau pernyataan tersebut hanya menjadi lip service belaka sejauh ini, sidang UPR PBB yang akan diadakan kembali pada akhir tahun 2022 ini menjadi salah satu momentum untuk melihat kembali tanggung jawab negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Apakah komitmen pemerintah yang telah lama tertunda akan dituntaskan? Atau kembali menjadi wacana belaka? 


 1. Hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah kepunyaan bersama para warga di bawah masyarakat hukum adat dalam wilayah masyarakat hukum adat tertentu.

Referensi

‘Rentetan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Papua’ CNN. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210730084251-12-674118/rentetan-kasus-kasus-pelanggaran-ham-di-papua 

Ahmad, D. (2022). ‘PBB: Penegakan Hak Asasi Manusia di Papua Memburuk.’ Tempo. Diakses pada 10 Juni 2022 pada: https://dunia.tempo.co/read/1566883/pbb-penegakan-hak-asasi-manusia-di-papua-memburuk

BBC. (2022) Kasus Paniai, Papua: Anggota TNI ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pelanggaran HAM berat. Diakses pada 10 Juni 2022 pada: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60904780 

Briantika, A. (2020). ‘Biak Berdarah 6 Juli 1998: Jalan Damai Berbuntut Kematian.’ Tirto.id. Diakses pada 10 Juni 2022 pada: https://tirto.id/biak-berdarah-6-juli-1998-jalan-damai-berbuntut-kematian-fPbV 

Jerat Papua. (2021). Perampasan Tanah Adat, Sumber Konflik di Tanah Papua Jerat Papua. Diakses pada 10 Juni 2022 dari: https://www.jeratpapua.org/2021/02/22/perampasan-tanah-adat-sumber-konflik-di-tanah-papua/ 

Komnas HAM. (2020). 22 (Dua puluh dua) Tahun Tragedi Biak Berdarah. Diakses pada 10 Juni 2022 pada: https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/7/9/1472/22-dua-puluh-dua-tahun-tragedi-biak-berdarah.html 

KontraS. (2021). 20 Tahun Peristiwa Wasior: Selesaikan Kasus dan Hentikan Kekerasan di Tanah Papua, KontraS. Diakses pada 9 Juni 2022 dari: https://kontras.org/2021/06/12/20-tahun-peristiwa-wasior-selesaikan-kasus-dan-hentikan-kekerasan-di-tanah-papua/ 

Sitepu, M. (2017). Bagaimana kronologis tiga kasus ‘pelanggaran HAM berat’ di Papua? BBC. Diakses pada 9 Juni 2022 dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39031020 

YLBHI. (2021). 20 Tahun Korban Pelanggaran HAM Berat Wasior Belum Mendapatkan Hak atas Keadilan. Diakses pada 9 Juni 2022 dari: https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/20-tahun-korban-pelanggaran-ham-berat-wasior-berdarah-belum-mendapatkan-hak-atas-keadilan/ 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content