Bunda Mayora, Transpuan Pertama dalam Pemerintahan Indonesia

Bunda Mayora, Transpuan Indonesia

Pride month merupakan bulan yang sangat penting bagi individu LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Queer). Pada bulan ini, individu LGBTQ bersama beragam komunitas merayakan keberagaman gender dan orientasi seksual. Perayaan ini bertujuan untuk menghadirkan ruang aman bagi individu LGBTQ untuk mengekspresikan gender dan orientasi seksualnya dengan lebih terbuka, sekaligus mengapresiasi dan merayakan perjuangan komunitas LGBTQ untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai manusia. 

Merayakan pride month menjadi penting mengingat masih banyaknya bentuk diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ. Dengan semangat ini, mari kita apresiasi perjuangan Hendrika Mayora Victoria atau yang sering disapa dengan panggilan Bunda Mayora. Kiprah Bunda Mayora sebagai seorang transpuan dan aktivis hak asasi manusia yang terpilih menjadi pejabat publik transpuan pertama di Indonesia patut turut dirayakan.

Bunda Mayora menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta. Setelah meninggalkan pendidikan tinggi, beliau kemudian bergabung di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu HIV/AIDS. Karena di LSM tersebut beliau bekerja sebagai relawan, maka beliau harus mencari pekerjaan lain untuk menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Saat melamar pekerjaan formal, Bunda Mayora mendapat penolakan dan diskriminasi karena identitas gendernya sebagai transpuan sehingga beliau memutuskan untuk bekerja di jalanan. 

Bunda Mayora mengalami kehidupan yang sangat keras di jalanan. Beliau dan teman-teman transpuan lainnya sering ditangkap dan dilecehkan oleh aparat karena identitas gender mereka. Sampai akhirnya Bunda Mayora terhubung dengan aktivis LGBTQ dan mulai mengadvokasi hak-hak transgender di berbagai seminar dan kampus di Yogyakarta.

Perjuangan Bunda Mayora tidak berhenti sampai di situ. Ketika kembali ke kampung halamannya di Maumere, beliau harus menghadapi berbagai macam penolakan dan stigma negatif dari masyarakat desa karena identitas gendernya sebagai transpuan. Beliau bahkan sering dilarang masuk ke gereja. 

Beragam diskriminasi yang beliau hadapi kemudian menyemangati Bunda Mayora untuk melawan stigma terhadap transpuan. Ia membentuk sebuah komunitas transpuan lokal yang bernama Fajar Sikka dengan tujuan untuk melawan stigma negatif terhadap transpuan dengan memberdayakan transpuan dan kelompok minoritas lainnya. Bersama komunitas Fajar Sikka, Bunda Mayora kemudian berupaya untuk selalu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di desa, seperti memasak untuk acara kampung, menjadi tenaga kesehatan di puskesmas, dan mengajar paduan suara, dengan tujuan dapat diterima oleh masyarakat desa. 

Karena kemampuan dan keterlibatannya tersebut, Bunda Mayora akhirnya diterima dan memiliki pengaruh di desanya. Fajar Sikka didukung masyarakat desa kemudian mendorong Bunda Mayora untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa Habi. Beliau menerima tantangan tersebut karena melihat peluang untuk dapat menyuarakan hak-hak kelompok transgender, dari dalam sistem pemerintahan secara langsung. 

Setelah terpilih menjadi kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD), beliau dan Fajar Sikka berupaya untuk memberlakukan kebijakan desa yang inklusif serta dapat memberdayakan kelompok transgender dan kelompok masyarakat minoritas lainnya, seperti janda dan individu dengan disabilitas. Dengan kebijakan yang inklusif, seluruh masyarakat desa mendapatkan kemudahan akses untuk pemenuhan hak-hak dasarnya, termasuk dipermudahnya pembuatan KTP bagi transpuan. Selain itu, masyarakat desa menjadi lebih paham tentang keberagaman orientasi seksual dan identitas gender.

Kita dapat berefleksi dari perjuangan Bunda Mayora bahwa representasi dari kelompok minoritas di dalam pemerintahan sangatlah penting. Dengan representasi dari kelompok minoritas, kebijakan dan tindakan pemerintah menjadi lebih inklusif karena mempertimbangkan suara berbagai kelompok masyarakat. Penerapan sistem pemerintahan yang inklusif akan menjamin pemenuhan hak dasar setiap kelompok masyarakat, termasuk LGBTQ. Perjuangan Bunda Mayora tidak hanya menjadi harapan dan kekuatan pada pride month, tetapi juga memberikan semangat untuk lebih optimis melanjutkan perjuangan di masa depan.

Referensi

David Pierson dan Johanes Hutabarat, “Against Rising Intolerance, A Transgender Indonesian Woman Finds Acceptance in A Remote Village,” Los Angeles Times, 21 September 2020, https://www.latimes.com/world-nation/story/2020-09-21/indonesia-transgender-public-official.

“Hendrika Mayora Kelan Becomes Indonesia’s First Transgender Public Official,” WowShack, 16 Agustus 2020, https://www.wowshack.com/hendrika-mayora-kelan-becomes-indonesias-first-transgender-public-official/..

Eki Ramadhan, “Craving Spaces for Engagement in Indonesia: An Interview with Hendrika Mayora Victoria Kelan,” LGBT Policy Journal, 11 Juni 2021, https://lgbtq.hkspublications.org/2021/06/11/carving-spaces-for-engagement-in-indonesia-an-interview-with-hendrika-mayora-victoria-kelan/.

Eva Mazrieva, “Hendrika Mayora, Transpuan Pertama Jadi Pejabat Publik di Indonesia,” VOA Indonesia, 30 Juni 2020, https://www.voaindonesia.com/a/hendrika-mayora-transpuan-pertama-jadi-pejabat-publik-di-indonesia/5482884.html

“Transgender Community Fajar Sikka: The Bright Spot at the Darkest Moment of Lembata and Adonara Flood,” IKa, 8 Juli 2021, https://indonesiauntukkemanusiaan.org/en/2021/07/08/transgender-community-fajar-sikka-the-bright-spot-at-the-darkest-moment-of-lembata-and-adonara-flood/

Ditulis oleh Ken Penggalih, Pemagang Pamflet Generasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content