LGBTQ Menular Melalui Film?

@dindiepop/pamflet

Beberapa waktu yang lalu, film “Lightyear” dikabarkan tidak akan tayang di Indonesia karena menampilkan adegan ciuman sepasang perempuan. Meskipun belum dikonfirmasi oleh Lembaga Sensor Film Indonesia, kabar ini sudah menjadi perbincangan hangat di Twitter. 

“Ya ampun, jaman sekarang adegan LGBTQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer) sudah dimasukkan ke dalam film kartun anak-anak. Nanti kalau anak-anak berubah menjadi LGBTQ gimana?” “adegan LGBTQ seharusnya disensor karena tidak berpengaruh terhadap alur cerita film-nya,” “rumah produksi film dibayar berapa, sih, oleh LGBTQ untuk memasukkan propagandanya ke dalam film anak-anak?” Begitulah beberapa komentar dari netizen mengenai adegan ciuman pasangan LGBTQ di film “Lightyear”. Kendati menerima banyak penolakan, kehadiran karakter LGBTQ dalam Lightyear juga menuai banyak dukungan. Perdebatan tersebut kemudian dapat kita jadikan bahan untuk berefleksi: mengapa representasi LGBTQ di kehidupan sehari-hari, termasuk di media massa, penting? 

Di tengah kondisi masyarakat yang masih sangat heteronormatif, komunitas LGBTQ sering dianggap sebagai hal yang tidak normal atau bahkan penyakit. Narasi negatif oleh media massa turut mempengaruhi bagaimana masyarakat menyikapi keberadaan individu LGBTQ. Maka dari itu, narasi media massa perlu diubah agar masyarakat dapat menyikapi keberadaan individu LGBTQ secara positif. 

Identitas gender dan orientasi seksual merupakan bagian yang melekat pada diri masing-masing individu yang sama sekali tidak dipengaruhi media apapun, termasuk bahan tontonan. Pada tahun 1990, World Health Organization melalui International Classification of Disease (ICD-10) telah menyatakan bahwa homoseksualitas bukan merupakan sebuah penyakit. Dalam sebuah penelitian yang termuat dalam jurnal Archives of Sexual Behavior, dijelaskan bahwa homoseksualitas tidak dapat menular dan menyebar melalui pergaulan. Maka dari itu, konsumsi konten LGBTQ, termasuk bagi anak-anak, tidak akan mengubah identitas gender dan orientasi seksual. 

Hadirnya aktivitas individu LGBTQ di media massa justru dapat menjadi media pembelajaran untuk masyarakat, termasuk anak-anak, tentang keberagaman identitas gender dan orientasi seksual. Konten di media massa yang menghadirkan keberagaman identitas gender dan orientasi seksual dalam kehidupan sehari-hari juga dapat membantu individu LGBTQ yang masih dalam proses untuk menerima identitas diri mereka. Dengan melihat aktivitas individu LGBTQ di media massa, individu LGBTQ akan lebih mudah menerima identitas dirinya karena merasa aman dan nyaman dengan mengetahui bahwa pengalamannya juga dialami oleh banyak orang. 

Selain itu, representasi individu LGBTQ di media massa dapat menjadi salah satu cara agar masyarakat yang masih heteronormatif dapat secara perlahan menerima keberadaan individu LGBTQ. Penelitian yang dilakukan oleh Bond dan Compton pada tahun 2015 menyatakan bahwa representasi karakter LGBTQ dalam acara televisi memiliki kontribusi besar dalam penerimaan individu LGBTQ di masyarakat heteronormatif. Selanjutnya, survei yang diadakan oleh GLAAD dan P&G menunjukkan bahwa representasi individu LGBTQ dalam media massa meningkatkan angka penerimaan masyarakat heteronormatif terhadap individu LGBTQ sebesar 45%. Hal ini menunjukkan bahwa representasi individu LGBTQ di media massa dapat membantu untuk membentuk lingkungan yang aman bagi individu LGBTQ di masyarakat yang heteronormatif. 

Meskipun hadirnya individu LGBTQ di media massa bukanlah sebuah cara yang instan untuk menghapus diskriminasi terhadap individu LGBTQ, representasi seperti yang dilakukan film Lightyear bisa setidaknya memaparkan keberagaman identitas gender dan orientasi seksual kepada masyarakat.

Referensi:

Benjamin Hanckel. “Representations of LGBT youth: A review of Queer Youth and Media Cultures.” Journal of LGBT Youth Volume 13, No. 4 (Agustus 2016): 412, http://dx.doi.org/10.1080/19361653.2016.1185764

Bradley J. Bond and Benjamin L. Compton. “Gay On-Screen: The Relationship Between Exposure to Gay Characters on Television and Heterosexual Audiences; Endorsement of Gay Equality.” Journal of Broadcasting & Electronic Media (Desember 2015): 728, http://dx.doi.org/10.1080/08838151.2015.1093485.

Irene Anindyaputri. “Apakah Gay Bisa Menular? Ini Jawaban dari Para Ahli.” Hallosehat, 10 Agustus 2020, https://hellosehat.com/seks/tips-seks/apakah-gay-menular/.

Jack Drescher. “Out of DSM: Depathologizing Homosexuality.” Behavioral Sciences Volume 4, no. 4 (Desember 2015): 571, https://doi.org/10.3390/bs5040565.

“Procter & Gamble and GLAAD Study: Exposure to LGBTQ Representation in Media and Advertising Leads to Greater Acceptance of The LGBTQ Community.” GLAAD, 27 Mei 2020, https://www.glaad.org/releases/procter-gamble-and-glaad-study-exposure-lgbtq-representation-media-and-advertising-leads

Tessa Kaur. “Queer representation in media: the good, the bad, and the ugly.” Heckin.unicorn, 6 Oktober 2021, https://heckinunicorn.com/blogs/heckin-unicorn-blog/queer-representation-in-media-comprehensive-list-breakdown-lgbt

Ditulis oleh Ken Penggalih

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content