Tokoh Politik: Ultimate Bias-ku

Wilsa Naomi/Pamflet

Alexandria Ocasio-Cortez, seorang anggota kongres Amerika, dianggap sebagai salah satu staf pemerintahan yang progresif karena membentuk kebijakan yang merepresentasikan kepentingan banyak kelompok minoritas di Amerika. Karena itulah Ocasio-Cortez menjadi idola bagi banyak warga, termasuk orang muda, di seluruh dunia. Bahkan, sebuah akun di Twitter mencuit “Stan the Squad <3” yang ditujukan kepada Ocasio-Cortez dan anggota kongres Amerika lainnya. Cuitan tersebut menunjukkan bahwa terjadi fenomena pengidolaan terhadap tokoh politik dan memperlakukan mereka layaknya selebriti. 

Di Indonesia, fenomena pengidolaan tokoh politik layaknya selebriti juga pernah terjadi ketika pasangan Jokowi-Ahok melakukan kampanye untuk mencalonkan diri sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta pada tahun 2012. Salah satu bentuk pengidolaan dapat dilihat pada banyaknya warga yang menggunakan pakaian dengan motif kotak-kotak untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap pasangan tersebut. Selain itu, kelompok masyarakat yang berencana untuk memilih Jokowi pada pemilihan umum Presiden 2014 bahkan menjuluki diri mereka sebagai “Jokowers”. 

Lalu, kenapa mengidolakan tokoh politik layaknya selebriti menjadi sebuah permasalahan? 

Dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Suara rakyat memiliki pengaruh yang besar terhadap jalannya pemerintahan. Rakyat seharusnya berperan untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintah, termasuk tokoh politik, atas pelaksanaan tugas dan tindakan yang mereka lakukan. Rakyat juga harus aktif mengkritisi tindakan dan kinerja pemerintah secara objektif.

Sementara itu, tokoh politik merupakan individu yang bekerja untuk menjalankan pemerintahan dan mewakilkan suara rakyat. Pada hakekatnya, mereka membutuhkan dukungan rakyat untuk dapat bekerja. Mereka kemudian melakukan kampanye untuk menjadi representasi pandangan dan opini kelompok masyarakat tertentu. Ketika rakyat menilai bahwa kampanye tokoh politik tersebut merepresentasikan pandangan mereka dan dilakukan dengan cara-cara yang populer, maka dukungan dapat berubah menjadi fanatisme bahkan memperlakukan mereka layaknya selebriti. 

Pengidolaan tokoh politik layaknya selebriti menjadi sebuah permasalahan karena rakyat menjadi tidak dapat mengawasi dan mengkritik tindakan serta kinerja tokoh politik secara objektif. Rakyat secara tidak langsung memposisikan mereka sebagai sosok yang sempurna tanpa kesalahan. Akibatnya, rakyat dapat dengan mudah untuk mengabaikan, atau bahkan memaafkan, kesalahan tokoh politik karena telah memiliki perspektif yang bias. Selain itu, tokoh politik tersebut akan kebal terhadap permintaan pertanggungjawaban, padahal mereka seharusnya dapat selalu dimintai pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang dilakukan.

Kedua contoh fenomena di atas menunjukkan bahwa ketika rakyat mengidolakan tokoh politik, tokoh politik tersebut cenderung menjadi kebal dari kritik. Misal, penggemar Ocasio-Cortez yang justru memuji Ocasio-Cortez ketika ia melakukan kampanye dengan datang ke Met Gala 2021, sebuah acara selebriti yang sangat elitis dan bertolak belakang dengan tujuan kampanyenya. Atau misal setelah Jokowi naik jadi Presiden, penggemar-penggemarnya mendorong agar Jokowi naik menjadi Presiden untuk tiga periode. Dan ketika wacana Presiden tiga periode ini dikritik sebagai wacana yang inkonstitusional, penggemar-penggemar Jokowi membantah dan menyatakan bahwa kritik ini merupakan bentuk dari pembungkaman kebebasan berpendapat. Penggemar-penggemar Jokowi juga sempat menyatakan bahwa mereka akan mendukung segala keputusan Jokowi terkait dengan UU KPK ketika UU ini mendapat banyak kritik dari publik.

Meskipun tokoh politik yang memiliki pandangan dan tindakan yang progresif patut untuk diapresiasi, namun rakyat tetap harus mengevaluasi hasil kinerja tokoh politik dari laporan pertanggungjawaban dan rencana program yang diajukan. Dengan begitu, mereka tidak akan menyalahgunakan wewenangnya dengan selalu membuat dan melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan amanah rakyat. Tokoh politik adalah adalah wakil rakyat sehingga menjadi kewajiban rakyat untuk selalu mengawal dan mengawasi kinerja dan kebijakan yang mereka lakukan.

Referensi 

Aarna Dixit, “Why We Need to Stop Idolizing Politicians,” Parachute, 3 Januari 2022, https://www.theparachutemedia.com/politics-activism/why-we-need-to-stop-idolizing-politicians

Desca Lidya Natalia, “Relawan siap dukung apapun keputusan Presiden terkait UU KPK,” Antaranews.com, 27 September 2019, https://www.antaranews.com/berita/1085324/relawan-siap-dukung-apa-pun-keputusan-presiden-terkait-uu-kpk

Fajar Pebrianto, “Kata Pendukung Jokowi 3 Periode soal Cap Teroris Konstitusi,” Tempo.co, 10 April 2022, https://nasional.tempo.co/read/1580558/kata-pendukung-jokowi-3-periode-soal-cap-teroris-konstitusi.

Ditulis oleh Ken Penggalih

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content