Postulat Manusia Dewasa

postulat manusia dewasa

Diolah dari ilustrasi pixabay/Canva

Artikel oleh: Mochammad Aldy Maulana Adha

I
mungkin begitulah manusia dewasa
gemar mengutuk manusia lainnya
& dirinya sendiri. sedang jantungnya
terus berdetak. sebuah jarum jam,
diam-diam niscaya berdetik;

& kepalanya menjadi bandara
paling sibuk. yang tak mengenal
apa itu titik. setelah koma. setelah
kata kerja kabur dari tawaran untuk
cuti. & pikirannya memilih kerja lembur.

setelah ingatan-ingatan subtil
lepas landas menuju langit lamunan.
menghantui langit-langit kamar mandi.
tanpa jawaban akan hujan. meski
pada gilirannya akan tercecer di trotoar,
di selokan, di kantor, di kampus, di tempat makan,
di dalam hatinya ia merasa makan hati—tapi
matahari pada pembuluh darahnya belum
memberi lampu hijau untuk segera mampus
& ia memilih untuk menyeduh kopi dengan
tambahan omong kosong hidup, lagi.

II
mungkin begitulah manusia dewasa
punya tendensi untuk melukis nostalgia.
dengan warna paling nyentrik. dengan
sentuhan majas-majas hiperbola.
sebab tak ada lagi yang menarik
dalam hidupnya. selain naik gaji,
naik jabatan & turun gunung mencari
tanggal paling seksi untuk liburan.
sedang ceruk-ceruk masa lalu pada
korpus memori masih menolak pergi.
seperti eksil masa kini;

hasrat paling purba untuk mengisi
kesadaran sebuah malam dengan
botol-botol alkohol pun mencuat
ke permukaan. bersembunyi di
batas-batas antara realitas & hiperealitas.
berusaha untuk tetap mabuk. semalam
suntuk. bunuh diri pikiran. lari, berlari
mencari pelarian. lari dari dunia yang berlari
lebih kencang. dari ruang waktu yang tak
memberi ruang bagi anak kecil dalam dirinya.

untuk barang sejenak bertanya-tanya:
apakah menunda kekalahan hidup
pada mati seperti ini sepadan dengan
kebahagiaan yang mungkin akan didapatkan?

III
mungkin begitulah manusia dewasa
setiap malam, ia mengheningkan cipta
pada cita-citanya. yang sudah membias
bersama bendera putih: ya sudahlah
mau bagaimana lagi, ucap hatinya lirih.
tapi resign pun bukan pilihan, kata otaknya
ikut menimpali. seperti sebuah konvensi
antara pikiran & perasaan. yang tak pernah
memiliki jalan tengah untuk menampung
kata kesepakatan yang hampir selalu resah.

: konon, di dalam kamus maupun tesaurus
bahasa mana pun di muka bumi yang jelek
ini manusia dewasa pantang hukumnya
mengeja kata lelah dengan suara lantang.

tiba-tiba manusia dewasa teringat
buku absurd yang pernah ia baca
& hati kecilnya pun berdoa agar suatu
pagi ia terbangun dalam tubuh seekor kecoak.
ingatan itu seperti bekerja untuk memperluas
konteks sebuah teks kanon abad yang tak
pernah ia alami seumur hidupnya:

konon, ia masih berlari. demi mengaburkan
kesadaran tentang betapa menyedihkan
hidupnya sekarang. agar hatinya bisa
melupakan kenyataan bahwa saat ini
ia ingin menjungkirbalikkan waktu
yang bahkan sebelum purbakala
telah berubah jadi lautan lepas
yang tak dapat diselami manusia.

(2022)

Tentang Penulis

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Seorang Pengarang; Penerjemah; Ilustrator; Redaktur Omong-Omong Media; & Periset Baitul Falsafah. Dapat dihubungi melalui: Email-genrifinaldy@gmail.com; Instagram-@genrifinaldy; Twitter-@mochaldyma

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content