Saksi Sunyi Kekerasan Negara

Saksi Sunyi Kekerasan negara

Peringatan: Tulisan ini mengandung muatan kekerasan.

Konon katanya, Hari Bangunan Indonesia jatuh pada 11 November karena angka sebelas-sebelas yang menyerupai pilar-pilar bangunan. Tiang-tiang tegak lurus yang memberi keseimbangan pada beban dalam struktur bangunan tersebut menjadi simbol yang pas bagi sebuah hari yang didedikasikan untuk memperingati percepatan agenda pembangunan di tanah air. 

Tidak hanya pilar, rumah ataupun bangunan kerap dimaknai sebagai simbol stabilitas dan keamanan. Di bawah naungan atap yang kokoh-lah kita bisa mencari suaka. Namun, alih-alih mensejahterakan dan memberikan keamanan, banyak bangunan-bangunan kokoh di sekitar kita yang malah menjadi saksi sunyi bagi ketidakadilan. Ini adalah beberapa kisah gelap mereka.

Rumoh Geudong

Ketika Aceh diperlakukan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-98, Rumoh Geudong menjadi sebuah gulag atau kamp konsentrasi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut Tim Pencarian Fakta Komnas HAM, setidaknya 3.504 warga sipil Aceh diculik dan disiksa oleh serdadu kiriman pemerintah Indonesia di rumah panggung kayu yang terletak di Desa Billie Aron, Kabupaten Pidie tersebut. Rumah ini dibakar habis pada 1998, menyisakan anak-anak tangga batu yang tak terbakar.

Foto Rumah Geudong sebelum dibakar. Sumber gambar: Museum HAM Lorong Ingatan.

Seorang korban yang berfoto di depan Rumah Geudong dalam memorialisasi Hari Kebenaran dan Martabat Korban. Foto-foto yang dipamerkan merupakan portret para korban. Sumber gambar: Reza Idria.

Siksaan yang dilakukan begitu kejam–penyetruman, penggantungan badan secara terbalik, pemerkosaan, pemasungan, hingga pemotongan bagian-bagian tubuh. Sebagian kecil dari ribuan warga dibebaskan, sementara sebagian besar dibiarkan menjadi jasad-jasad tak bernyawa yang dikubur atau dibuang ke sumur. Semua ini dilakukan pada warga Aceh yang dipaksa untuk mengaku berafiliasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg menyimpan cerita yang senada, namun tak sama. Benteng yang sekarang menjadi museum ini berlokasi di depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Kontras dengan serangkaian diorama perjuangan untuk merdeka dari penjajah yang dipamerkan, museum ini menyembunyikan sejarah kelam sebagai kamp tahanan yang merenggut kemerdekaan warga hanya karena pandangan politiknya diduga berbeda–mereka adalah tahanan politik (tapol) Peristiwa 1965. 

Di lantai bawah tanah Museum Benteng Vredeburg, perempuan pelajar, mahasiswi, penari, aktivis organisasi, guru, hingga ibu rumah tangga yang dituduh sebagai komunis–dan terlibat dalam pembunuhan jenderal–ditahan tanpa proses pengadilan. Para tapol ini rata-rata dipanggil oleh aparat, diinterogasi, lalu dimasukkan ke penjara yang memberikan jatah sarapan 20 butir jagung itu. 

Gerbang masuk ke Benteng Vredeburg. Sumber foto: Wikipedia.

Jalan Anyer-Panarukan (Daendels)

Selain bangunan, jalan juga patut ditelusuri karena merupakan bagian dari agenda pembangunan, terlebih dalam konteks Hari Bangunan Indonesia. Semasa bersekolah, Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels kerap dibahas sebagai tokoh penjajah yang keji karena melangsungkan kerja paksa dalam pembangunan Jalan Raya Pos yang terbentang sepanjang Anyer-Panarukan. Setidaknya 1.100 buruh membangun jalan raya yang tadinya merupakan hutan lebat bermedan terjal dan dipenuhi bebatuan padas.

Namun, bukti dari dokumen Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 jilid ke-14 (1895) menunjukkan bahwa Daendels memberikan upah berupa 30.000 ringgit untuk upah kerja dan konsumsi para buruh serta mandor. Terdapat juga beras dan garam untuk dibagikan. Pembangunan jalan ini kemudian dicap sebagai ‘kerja paksa’ karena distribusi upah dan pangan tersebut berhenti sampai di bupati. 

Sekolah Hitadipa, Intan Jaya

Sementara itu, di Papua, ada 300 anak Kampung Bomba yang berhenti sekolah karena gedung Sekolah Hitadipa di Kabupaten Intan Jaya dialihfungsikan oleh TNI sebagai Pos Koramil. Gedung sekolah yang berfungsi sebagai SD YPPGI dan SMP Satu Atap Hitadipa tersebut dialihfungsikan oleh TNI sejak Desember 2019 hingga 2021. Walau tidak berstatus daerah operasi militer, pasukan TNI/Polri terus dikirimkan ke berbagai daerah di Papua seperti Intan Jaya, Nduga, Maybrat, dan Yakuhimo. Akibatnya, daerah-daerah ini terus menjadi area konflik yang menyaksikan peperangan TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM), di mana sebagian besar warga setempat malah harus mengungsi. 

“Semua siswa kami, guru kami, sudah tidak ada di sekolah. Kami minta tidak boleh pakai gedung sekolah kami, dan tidak boleh tinggal di Hitadipa. Kalau memang ada koramil, kenapa harus di sekolah, di tempat misi?” ujar kepala sekolah Rode Zanambani dalam artikel gubahan Jubi. 

Pada Maret 2022, kedua sekolah ini hangus dibakar oleh TPNPB-OPM untuk membalas penembakan oleh TNI/Polri.

***

Menurut sosiolog Marxis Prancis Henri Lefebvre, produksi dan pemanfaatan ruang dalam masyarakat kapitalis modern merupakan arena pertarungan. Dengan gagasan ini kita bisa melihat sejumlah bangunan di atas sebagai arena pertarungan yang dipergunakan negara untuk menunjukan dominasinya. Kuasa negara dan kuasa warga begitu timpang dan negara bisa berlaku sesuka hati, meski dengan membayar harga berupa kekerasan terhadap dan ketidakadilan bagi warganya sendiri. 

Lantas, alih-alih melihat aspek fisik dan spasial pembangunan untuk memperingati Hari Bangunan Indonesia, kita bisa memilih untuk merayakan dengan memperhatikan aspek sosial dalam berbagai ruang. Bagaimana sebuah bangunan digunakan? Interaksi sosial apa yang dihadirkan dalam sebuah bangunan? Apakah bangunan tersebut mensejahterakan dan meningkatkan kualitas hidup kita? Atau sekadar menjadi saksi sunyi kesewenang-wenangan negara dalam menggunakan kuasa yang telah kita percayakan kepadanya?

Referensi

‘Investigasi Komnas HAM Temukan Sekolah Diubah Jadi Pos TNI’. CNN Indonesia.  2 November 2022. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201102180813-12-565058/investigasi-komnas-ham-temukan-sekolah-diubah-jadi-pos-tni 

‘Sejarah Kerja Paksa Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer Panarukan, Benarkah Daendels tak Bayar Pekerja?’ VOI. 9 Februari 2021. Diakses dari: https://voi.id/memori/31941/sejarah-kerja-paksa-pembangunan-jalan-raya-pos-anyer-panarukan-benarkah-daendels-tak-bayar-pekerja 

Briantika, Adi. Kelompok Bersenjata Bakar Dua Sekolah di Hitadipa Intan Jaya. 31 Maret 2022. Diakses dari: https://tirto.id/kelompok-bersenjata-bakar-dua-sekolah-di-hitadipa-intan-jaya-gqtd 

Isnaeni, Hendri F. Sepuluh Fakta di Balik Pembangunan Jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan. Historia. 22 Mei 2015. Diakses dari: https://historia.id/kuno/articles/sepuluh-fakta-di-balik-pembangunan-jalan-daendels-dari-anyer-ke-panarukan-6ae2W/page/6 

Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. Georgetown University Press: NY.

Mambor, Victor. Konflik Intan Jaya (5): Konflik Bersenjata Baru yang Mematikan. Jubi. 17 Januari 2021. Diakses dari:  https://jubi.co.id/konflik-intan-jaya-5-konflik-bersenjata-baru-yang-mematikan/ 

Putri, Restu Diantina. Rumoh Geudong dan Setengah Hati Pengusutan Korban Konflik Aceh. 20 Agustus 2018. Diakses dari: https://tirto.id/rumoh-geudong-dan-setengah-hati-pengusutan-korban-konflik-aceh-cTBw 

Razali, Habil. Menunggu Dewi Keadilan Mampir ke Rumah Geudong. 10 September 2019. Diakses dari:  https://lokadata.id/artikel/menunggu-dewi-keadilan-mampir-ke-rumoh-geudong 

Satriawan, Yudha. Setengah Abad G30S, Penyintas Napak Tilas ke Benteng ‘Penyiksaan’ Vredeburg. 23 Desember 2016. Diakses dari:  https://kbr.id/saga/12-2016/_saga__setengah_abad_g30s__penyintas_napak_tilas_ke_benteng__penyiksaan__vredeburg/87684.html 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content